Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 90, bicara tentang kepeduliannya pada keadilan gender bagi perempuan Indonesia.
Sebagai perempuan, sejak kecil saya mengalami perbedaan perlakuan dengan kakak laki-laki. Dalam pendidikan kami mendapat kesempatan sama, namun dalam hal-hal lain sangat terasa perbedaannya.
Namun saya tidak merasa direndahkan, karena bagi saya, membedakan tidak apa-apa asal jangan merendahkan perempuan. Saya tidak tahu apakah itu yang membuat saya kemudian jadi peduli pada isu kesetaraan gender.
Sebelum menjadi akademisi di Universitas Indonesia, saya mengambil Sekolah Asisten Apoteker di Yogyakarta. Lalu saya merantau ke Jakarta dan ikut seleksi untuk ikut Kursus Psikologi yang sekarang menjadi Fakultas Psikologi UI. Setelah lulus, saya mengajar di almamater hingga 30 tahun.
Saat suami saya, (alm.) Mohammad Sadli, menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pertambangan di era Soeharto, saya sedang menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi UI, sehingga lebih banyak sibuk di kampus ketimbang ikut acara Dharma Wanita.
Ilmu psikologi, seperti semua ilmu pengetahuan lain, pada dasarnya bersifat maskulin. Yang mengadakan penelitian kebanyakan laki-laki. Kalaupun perempuan mengadakan penelitian, cara melihatnya seperti laki-laki. Topik yang dipilih juga ditentukan oleh laki-laki.
Buku Half The Human Experience, The Psychology of Women mencoba mengkaji kembali hasil penelitian-penelitian yang sudah ada. Misalnya, penelitian yang menyimpulkan bahwa inteligensi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Padahal, inteligensi perempuan sama potensialnya dengan laki-laki, asal diberi kesempatan yang sama.
Buku itu membuka mata saya soal isu perempuan. Pernikahan anak-anak, misalnya, bisa terjadi karena tuntutan adat, bisa juga karena kemiskinan. Kalau anak perempuan dinikahkan, ia akan hamil, dan kalau hamil, ia harus berhenti sekolah.
Tahun 1989, Prof. Dr. Sujudi, Rektor UI waktu itu, menggagas berdirinya Program Kajian Wanita Pascasarjana UI (Kajian Wanita). Saya dipercaya sebagai pemimpin selama 10 tahun pertama (1990-2000). Awalnya sulit karena sebelumnya saya tidak pernah bergerak di bidang women studies, namun saya konsisten mengerjakannya.
Bantuan dana yang kami dapatkan sebagian digunakan untuk memberi beasiswa untuk kaum perempuan. Perempuan, terutama yang sudah menikah, biasanya tidak mementingkan diri sendiri. Uang yang ada semua untuk keperluan keluarga, sehingga tidak tersisa dana untuk melanjutkan kuliah.
Saya juga pernah memimpin Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak berdiri di tahun 1998 hingga 2004.
Yang saya sayangkan, jumlah perwakilan perempuan di lembaga legislatif belum juga memenuhi kuota 30%, karena sistem patriarki di negara ini masih kuat. Padahal, kalau kita bicara dan berjuang bersama-sama, tentu perempuan jadi lebih berani. Namun, perempuan-perempuan hebat yang sudah duduk di kursi parlemen atau pemerintahan jangan ikut-ikutan korupsi.
Saya banyak kenal teman-teman aktivis dan mereka bekerja 24 jam sehari untuk memperjuangkan kemajuan perempuan. Saya merasa tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Saya bukan aktivis.
Baru-baru ini saya menulis buku Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut, isinya tentang bagaimana di usia lanjut kita tidak perlu menjadi beban bagi keluarga atau negara dengan cara menjadi individu mandiri. Untuk perempuan muda, 24 jam mungkin kurang, tapi untuk lanjut usia seperti saya, 24 jam itu panjang sekali.
Saya merawat mental dengan terus membaca buku dan mengikuti apa yang terjadi dalam masyarakat serta tetap bersosialisasi, sebab lingkaran sosial lansia terus menyempit.
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah: Atika Sakura