Cukup satu kalimat untuk membayar semua kerja keras Pritagita Arianegara. Kalimat itu adalah “Bapak Ibu bangga sama kamu” yang diketik orang tuanya di grup WhatsApp keluarga.
Sebuah video testimoni dari Hanung Bramantyo tentang “Salawaku”—film yang disutradari Prita—membuat orang tuanya terharu. Itu adalah kali pertama orang tuanya melontarkan rasa bangga selama 12 tahun Prita berkarier.
Awalnya orang tua Prita memang kurang setuju ia jadi kru film. Maklum, jam kerja Prita tak menentu—jauh berbeda dari pekerjaan kedua orang tua Prita. Ayahnya dosen, ibunya pemilik jasa dekorasi pernikahan di Semarang. “Mereka bilang, kamu pulang pagi nanti tetangga ngomong apa,” cerita Prita menirukan komentar orang tuanya.
Prita sudah terlibat dalam puluhan film—dalam 45 film sebagai pencatat adegan, 25 film sebagai asisten sutradara, dan 1 film sebagai sutradara lewat “Salawaku.”
Film debutnya itu meraih penghargaan tiga piala Citra pada Festival Film Indonesia 2016. Dari dua ribu film yang mendaftar, “Salawaku” jadi 10 Finalis Kategori Best Asian Future Award di Tokyo International Film Festival (TIFF). Di Indonesia, “Salawaku” diputar akhir Februari 2017, sementara tayang perdananya di TIFF pada akhir tahun lalu.
Perkenalan Prita dengan film sangat menarik. Ia lahir di Solo dan besar di Semarang. Prita merantau ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Setelah menikah, ia pindah ke Jakarta. Untuk mengisi waktu luang, Prita ikut kursus public speaking. Saat itu para peserta kursus diajak mengunjungi RCTI untuk melihat Tantowi Yahya membawakan acara. Di sana Prita justru tertarik pada aktivitas para kru TV. Sayangnya waktu itu belum ada lowongan sehingga Prita tidak bisa mendaftar.
Meski begitu Prita selalu datang setiap hari hingga akhirnya menarik perhatian Guntur Soeharjanto, seorang sutradara sinetron. “Dia tanya, ‘Kamu siapa? Kenapa datang-datang terus? Mau ngapain di sini?’” kata Prita menirukan Guntur. Prita menjawab ia mau belajar.
Lalu Prita diarahkan menjadi pencatat adegan di sinetron “Luv” (2005). Para pencatat adegan ini duduk di samping sutradara. Mereka mencatat seluruh kejadian selama syuting—dari baju yang dipakai pemain waktu menjalankan adegan, arah gerakan kamera, bahkan tangan mana yang digerakkan pemain saat berbicara. “Misalnya, pemain sedang bicara sambil merokok. Di adegan selanjutkan, kan, pasti dia akan merokok lagi. Saya mengawasi panjang rokoknya supaya pas,” kisah Prita. Tujuannya, agar seluruh adegan menjadi kesatuan utuh saat digabungkan di meja editing.
Sebenarnya pada 2009 Prita pernah menyutradarai dua film televisi. Tapi ia malah kapok menjadi sutradara karena emosinya tidak stabil. “Aku marah-marah terus karena panik. Satu film TV syutingnya cuma dua hari. Karena marah terus, jadinya aku capek. Nggak happy,” kenang Prita. Saat itu ia bertekad baru akan jadi sutradara menjelang usia 40.
Mungkin tekadnya itu membuat Prita lebih matang secara emosi ketika menyutradarai film layar lebar pertamanya, “Salawaku.” Syuting berlangsung tahun 2015, ketika usianya sudah 38 tahun. Prita pun sadar, marah-marah tidak menyelesaikan persoalan. Apalagi syuting “Salawaku” dilakukan di Pulau Seram, Maluku, selama 16 hari. Dari satu lokasi ke lokasi lainnya pemain dan kru menggunakan kapal. Kapal mereka sempat terkena badai hingga harus menepi di pulau. Kaca perahu bahkan sempat pecah. Semua kendala itu berhasil dihadapi Prita dengan tenang.
Memulai karier dari bawah juga membuat Prita paham cara menghargai para kru yang mendukungnya. Salah satunya dengan mengajak kru bersama keluarganya menonton saat premiere. “Aku mau ngajakin mereka nonton film kami sendiri. Orang yang nggak terlibat diajak nonton, presiden diajak nonton, mbok ya mereka-mereka ini diajak nonton sama keluarganya.”
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Wita