Aktor kelahiran Jerman ini suka masak, jago akting, pintar bikin kopi, dan pekerja keras. Kurang apa lagi?
Sepertinya saya betah berlama-lama berada Di Bawah Tangga, sebuah coffee shop di Gandaria City, Jakarta Selatan. Lokasinya memang tepat di bawah eskalator. Hmmm… siapa juga yang tidak betah, barista-nya ganteng, sih.
Matanya lembut kecokelatan, kulitnya putih, tubuhnya tegap, dan senyum (yang kadang kekanakan) selalu menghiasi wajahnya. Walau hari Sabtu, saya senang saja ketika harus bertugas mewawancarai Nino Fernandez di coffee shop miliknya ini, yang baru dibuka pada Mei 2017.
Dilihat dari pengunjung yang silih berganti datang, sepertinya usaha Nino sukses. Kopi-kopi yang ditawarkan dibanderol dengan harga relatif murah, mulai Rp19 ribu. Asal biji kopinya dari seluruh Indonesia—dari Sumatra, Bali, Ciwidey, Gunung Puntang di Bandung, hingga Flores.
“Visi misi tempat ini adalah semua orang bisa nongkrong sejenak di sini. Mulai dari satpam, sopir yang lagi lewat, pokoknya siapa pun. Ada wadah buat menikmati kopi yang enak, murah, dan kekinian—kalau pakai istilah anak mudasekarang,” ungkap pria 33 tahun kelahiran Hamburg ini.
Ternyata anak kedua dari tiga bersaudara ini sudah sangat akrab dengan bidang kuliner. Di umur 19 tahun, ia membuka restoran sate Indonesia di Jerman. Sayangnya saat itu usahanya belum berhasil, karena ia harus menangani semuanya sendiri.
Dilahirkan dari ayah berdarah Indonesia—campuran Yogya- Portugis—dan ibu dari Jerman, Nino kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Saat SD dan SMP, ia menghabiskan masa kecil di Indonesia. Saat SMA dan kuliah, ia kembali ke Jerman. Dan sejak usia 14 tahun, ia sudah bekerja di restoran.
“Saya kerja di restoran mula-mula cuma untuk bersih-bersih saja. Nggak pernah naik jadi apa-apa. Sampai akhirnya, setelah berbulan-bulan, saya mulai bikin nasi. Setelah itu pindah ke bar, memoles gelas. Kerja delapan jam, memoles gelasnya tiga jam,” cerita kakak dari penyanyi Millane Fernandez ini.
Setelah lulus kuliah pada 2006, Nino kembali ke Indonesia. “Saya ingin membuktikan saja kalau saya bisa memulai hidup baru dengan uang seadanya. Ada uang berapa pun, saya harus bisa bertahan,” ungkap lulusan Hamburg University jurusan bisnis ini.
Nama Nino mulai dikenal sejak ia mengikuti ajang MTV VJ Hunt pada 2006. Tak lama setelah itu, ia memulai karier akting, lewat film “Terowongan Casablanca” pada 2007. Awalnya ia mengaku tidak paham sama sekali mengenai akting, tapi lama-lama Nino mengaku menikmatinya.
Sejauh ini peran yang paling berkesan baginya adalah sebagai Clement, pria asal Prancis yang jatuh cinta pada wanita Indonesia yang diperankan Velove Vexia dalam film “Wa’alaikumussalam Paris.” Digambarkan lancar berbahasa Prancis di film, ternyata Nino yang fasih tiga bahasa ini—Inggris, Jerman, dan Indonesia— sama sekali tidak bisa berbahasa Prancis. Namun, berkat kerja kerasnya, ia berhasil menirukan logat orang Prancis.
Wajahnya yang Indo kerap dipasang sebagai tokoh ganteng, baik hati, dan kaya. Padahal, ia ingin juga mendapat peran-peran yang menantang. Jika diberi kesempatan, ia ingin bermain di film laga, atau memerankan tokoh antagonis. “Kalau dikasih kepercayaan, saya yakin bisa mewujudkannya, karena saya mau,” ungkap Nino.
Di luar pekerjaan, ia lebih senang di rumah. Ia mengaku memiliki sifat introver. Kalau tidak menonton film, ia memasak. Apa menu andalannya? “Semua bisa!” sahutnya cepat dengan nada menantang. “Dari pasta sampai nasi goreng. Tapi yang saya paling jago itu masak mi instan. Semalam saya coba campur pakai bumbu kimchi.” Saat ini ia mengaku punya kekasih, tapi sepertinya ia masih berahasia tentang sosok wanita yang mengisi hatinya.
“Siapa pun nantinya pasangan hidup saya, itu pasti dari Tuhan. Saya pasrah saja. Manusia kapan pernah puas, sih? Kalau kita hanya melihat wajah, umur, bentuk tubuh, tipe, pastinya tidak akan pernah cukup. Yang paling penting dibarengi sama agama. Hubungan kita sama Yang di Atas harus kuat.”
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Nanda Djohan