
Wanita berusia 64 tahun yang dikenal sebagai aktris, serta sutradara film dan teater ini bicara tentang konsistensi pilihan hidupnya di dunia akting.
Kalau sekarang saya dikenal sebagai aktris dan sutradara film, itu adalah hasil sebuah perjalanan panjang. Sewaktu muda, saya banyak maunya. Dulu pernah ingin jadi peragawati. Juga pernah ingin jadi diplomat seperti ayah saya (Nazir Datuk Pamoentjak—red). Untuk itu saya sekolah ke Paris, lalu pindah sekolah ke Los Angeles, tapi nggak betah. Akhirnya, saya pulang lagi ke Jakarta.
Sewaktu kuliah di Fakultas Sastra UI, tahun 1972, saya mulai tertarik pada dunia teater. Waktu itu teater memang sedang happening. WS Rendra menjadi idola gadis-gadis. Saat mendengar bahwa Teater Ketjil asuhan Arifin C. Noer sedang mencari pemain tambahan untuk pementasan teater berjudul Lalat-lalat, saya pun coba-coba ikut audisi.
Meski cuma peran kecil dan hanya mengucapkan satu-dua dialog pendek, ternyata nggak gampang mendapatkannya. Bolak-balik saya dibentak-bentak sama Mas Arifin, dia memang terkenal galak dan perfeksionis. Dia menganggap saya tidak berbakat dan artikulasi saya jelek. Mungkin karena kasihan, akhirnya Mas Arifin memberikan peran itu untuk saya. Siapa sangka di kemudian hari dia jadi suami saya, ha ha ha….
Ketika pertama kali main film (“Terminal Cinta” 1975), saya cuma dapat peran figuran dan mengucapkan satu dialog pendek, “Hai Joki!” Itu pun harus diulang berkali-lagi! Tapi semua itu justru membuat saya makin tertantang, Apakah gue memang sebego itu? Bahkan sampai saat ini saya masih terus melatih artikulasi dan fokus, terutama karena saya memang agak cadel dan suka hilang fokus di tengah dialog.
Baru di film “Bibir Mer” (1992, disutradarai Arifin C. Noer—red), saya mendapat peran sebagai aktris pendukung. Itu pun karena dua kandidat pertama menolak peran itu. Peran saya sebagai seorang ‘madame’ pemilik salon sekaligus istri simpanan pejabat mengharuskan saya berlogat Jawa, padahal saya asli orang Minang. Saya pun mati-matian belajar dialek Jawa dengan meniru gaya Mbak Sitoresmi (istri WS Rendra—red). Tak disangka, lewat peran itu saya berhasil meraih Piala Citra 1992 sebagai Aktris pemeran Pembantu Terbaik.
Setelah itu, saya berkali-kali menang atau masuk nominasi di berbagai festival film, lokal dan internasional (lewat film Cinta Tapi Beda, Jajang kembali meraih Piala Citra di FFI 2013 sebagai Aktris Pendukung Terbaik—red).
Biarpun begitu, saya tak pernah menolak peran apa pun, asalkan bukan peran-peran tolol. Saya bahkan pernah menerima peran sebagai PRT yang teraniaya di sebuah sinetron 56 episode. Tapi saya disuruh menangis terus setiap tampil. Saya lalu protes pada sutradara. Akhirnya, peran saya ‘dimatikan’ di episode 30. Alasannya, saya tidak berhasil memancing rasa iba penonton, ha ha ha.…
Sejak menang di “Bibir Mer,” saya mengembangkan keahlian menirukan logat daerah. Kebetulan saya memang senang melakukannya. Alhasil, saya jadi sering mendapat peran sebagai perempuan kampung dan jadi ‘spesialis’ meniru logat berbagai daerah. Sejauh ini saya sudah memerankan perempuan kampung dengan berbagai dialek—Jawa, Aceh, Lampung, Batak, Minang, Melayu-Belitung, Bali, Gorontalo, Ambon.
Di film terbaru, “Athirah,” saya mendapat peran sebagai Mak Kerah, ibunda Athirah, yang sangat kental dialek Bugis-Bone-nya. Selama berhari-hari, pagi-siang-malam, saya melatih dialek itu, dibimbing seorang wanita asli Bone. Saya senang karena akting saya di Athirah dipuji banyak orang.
Saya mungkin tidak ditakdirkan menjadi bintang besar dengan peran-peran besar. Dikenal sebagai aktor spesialis pemeran orang kampung dan peniru logat daerah, buat saya sudah
membanggakan. Bagi saya terjun ke dunia akting adalah panggilan hidup sekaligus nasib, karena saya memang tidak bisa mencari nafkah di bidang lain, ha ha ha….
Foto: Zaki Muhammad
Rias wajah: Atika Sakura