Suatu ketika, Dhianya menemukan sebuah kliping berita milik Ratih. Isinya membuatnya tergerak untuk mengikuti jejak sang ibu.
Waktu masih menunjukkan pukul setengah dua siang. Ia datang lebih cepat setengah jam dari yang dijadwalkan. Sekilas menatapnya, saya bisa menemukan garis-garis tegas yang diturunkan kepadanya. Dengan senyumnya yang ramah, Dhianya yang akrab dipanggil Anya menceritakan kisahnya yang baru terjun di dunia modeling—yang juga membesarkan ibunya sebagai model ternama Indonesia, Ratih Sang.
Begitu masuk ke ruang makeup, ia menghampiri makeup artist yang datang lebih dulu. Diciumnya kedua pipi kanan dan kiri dengan akrab. “Mbak Nining ini yang mendandani aku di karantina Gadis Sampul. Aku paling akrab dengan Mbak Nining,” kata dara berusia 19 tahun ini.
Kesopanan itu jelas terlihat di lain kesempatan. Misalnya, ketika hendak minum, ia akan meminta izin kepada makeup artist yang tengah mendandaninya. “Ibu sampai ngajarin kalau lagi makeup, tuh, jangan main handphone. Jangan apa pun. Jadi, kalau aku mau main handphone, aku
ngomong dulu ke makeup artist-nya. Kayak gitu menyenangkan orang lain yang kerja sama kita,” kata Anya. Dari sang ibu, Anya mempelajari bahwa kesopanan adalah nilai tambah bagi seorang model.
Bagi Anya, menjadi seorang model tak ubahnya memenuhi takdir. Teringat pada suatu ketika, ia menemukan sebuah kliping milik Ratih. Di sebuah majalah tertera berita kelahirannya. Berita itu berjudul Ratih Sang Lahirkan Seorang Calon Peragawati. Isinya, berita tentang sang ibu yang berkata bahwa kelak putrinya akan menjadi model, sama seperti dirinya.
Impian jadi model sudah ada sejak SMP, tapi Anya butuh waktu cukup lama untuk memupuk keberanian. Baru di kelas tiga SMA ia berani mendaftarkan diri di ajang Gadis Sampul. Di awal masuk SMA, Anya belum berani terjun ke dunia model. Maklum, sebagai murid sebuah SMA swasta unggulan, jika izin pemotretan, maka ia akan tertinggal pelajaran.
Dengan otaknya yang encer, ia membangun strategi. Ia ingin memenangkan Olimpiade Sains Nasional agar nilai-nilai rapotnya dijamin bagus oleh sekolah. Kalau menang, ia juga bisa diterima di Universitas Indonesia sesuai jurusan mata pelajaran yang dimenangkannya. Untuk menang, Anya rela belajar dengan tekun. Akhirnya, kerja kerasnya terbayarkan dengan medali perak di Olimpiade Sains Nasional dalam mata pelajaran Ekonomi. Baru setelah kemenangan itu, ia mendaftar ikut ajang Gadis Sampul.
Memiliki ibu seorang model top, mungkin kita berpikir Anya dididik langsung oleh sang ibu. Ternyata salah—Ratih malah tak pernah mengajari Anya cara berjalan atau bergaya di depan kamera. Diakui Ratih, sebetulnya ia tak ingin anaknya mengikuti jejaknya jadi model.
Sebagai model yang sangat terkenal pada masanya, ia pernah merasakan berbagai peristiwa tak mengenakkan. Ia mengalami sendiri betapa beratnya jadi model. “Saya sedih sekali kalau saya membayangkan dia dibentak-bentak. Telat aja dimarahin. Itu baru antar model ke desainer. Antar model sendiri, bagaimana menghadapi persaingan yang dibalut dengan kebencian dan fitnah? Itu luar biasa. Saya sudah mengalaminya. Nah, saya, kan, nggak mau dia mengalami itu,” kenang Ratih. Namun melihat keinginan Anya yang begitu besar, Ratih pun luluh. Sewaktu Anya ingin mengikuti Gadis Sampul, izin itu sudah Ratih berikan.
Menjadi anak seorang Ratih Sang, Anya tak merasa dibayang-bayangi oleh nama besar sang ibu. Justru ia memanfaatkannya sebagai pemacu semangat. Saat orang lain tahu, ia akan berusaha sekuat tenaga membuktikan diri. “Aku berusaha supaya performance-nya bagus. Karena aku anaknya Ibu, orang lain jadi percaya sama aku. Kalau udah mendapat kepercayaan orang, aku akan menjaganya,” kata Anya.
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya: Erin Metasari
Busana: Diniira
Tata rias dan rambut: Nining Safira, Ary Alba