Rencana perkawinan dua pelajar SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan, menjadi isu, dan viral di media sosial. Calon pengantin perempuan baru berusia 14 tahun 9 bulan, sementara calon pengantin laki-laki berusia 15 tahun 10 bulan.
Permohonan menikah keduanya ditolak oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantaeng. Namun ketika mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama Bantaeng, permohonan mereka dikabulkan.
Meski pernikahan mereka bukan karena dijodohkan atau karena hamil duluan, tetap saja perkawinan anak (karena keduanya di bawah usia 16 tahun), harus dihentikan, seperti diminta Hakim Konstitusi Maria Farida.
Saya jadi teringat pengalaman ketika pergi ke Cihonje, satu daerah di Jawa Barat, untuk meliput isu perkawinan anak di Indonesia.
Ketika itu saya kaget juga ketika menemukan bahwa, di daerah yang relatif dekat dengan ibukota, praktik perkawinan anak masih marak. Di sanalah saya bertemu seorang anak yang sudah memiliki anak. Di sana pula saya bertemu gadis belasan tahun yang telah empat kali jadi janda.
Ketika itu saya merasa miris. Saya bertanya-tanya, bagian manakah dari dampak perkawinan anak yang sulit dipahami? Apa pertimbangan dan kendala mereka? Apa yang belum dilakukan pemerintah? Dan yang lebih penting, apa yang bisa kita lakukan?
Perkawinan anak sendiri, secara hukum, merupakan perkawinan yang dilakukan seorang yang usianya belum dianggap dewasa oleh negara. Tapi, ya, di Indonesia, aturan itu memang semrawut.
Dalam UU Perlindungan Anak, misalnya, anak diartikan sebagai seseorang di bawah usia 18 tahun. Tetapi UU itu bertabrakan dengan UU Perkawinan 1974, di mana batas usia minimal adalah 19 tahun untuk laki-laki, dan 16 tahun untuk perempuan. Ketidakjelasan ini memicu satu pandangan bahwa negara turut melegalkan perkawinan anak. Tetapi itu baru masalah dari kacamata hukum.
Dari kacamata lain, seperti medis, misalnya. Usia minimal perkawinan di Indonesia masih dianggap terlampau dini, terlalu rawan dan berisiko. Berbagai riset kesehatan menyatakan bahwa usia minimal ideal perkawinan adalah 20 tahun. UNICEF merekomendasikan hal itu, begitu pula Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Tetapi banyak orang menganggap sepi hal tersebut.
Tetapi apa sesungguhnya risiko medis dari perkawinan anak? Cukup banyak, jika mau dikalkulasi. Pertimbangannya meliputi kesiapan rahim, kesiapan mental dan spiritual, tingginya risiko kematian ibu melahirkan hingga kesehatan si calon anak.
Secara global, komplikasi kehamilan adalah penyebab kematian terbesar kedua untuk remaja perempuan usia 15-19. Kehamilan remaja memiliki risiko tiga sampai tujuh kali lipat berujung kepada kematian ibu, dibandingkan kehamilan pada rentang usia 20-35. Kehamilan remaja juga membawa risiko preeklampsia atau hipertensi pada kehamilan, kerusakan jalan lahir pasca salin yang membentuk lubang-lubang pada vagina, serta terbaliknya rahim.
Dalam Journal of the American Academy of Pediatric (2005), Jonathan D. Klein juga menemukan bahwa bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja memiliki risiko 50% lebih tinggi untuk meninggal saat lahir. Terlepas dari itu, ia menegaskan bahwa, secara psikologis, seorang anak tidak semestinya melahirkan dan membesarkan anak.