![](https://www.pesona.co.id/img/images/article%20-%20michelle%20tjokrosaputro%20penerus%20bisnis%20orang%20tua.jpg)
Seorang penerus bisnis keluarga, ia bukan saja dituntut untuk melanjutkan tongkat estafet. Tetapi ia juga harus menjadi penyelamat ketika bisnis yang diwarisi dalam keadaan nyaris kolaps.
Itulah yang dialami Michelle Tjokrosaputro, yang mewarisi pabrik tekstil PT Dan Liris dari ayahnya. “Saya mau bergabung karena waktu itu ayah saya mulai sakit-sakitan. I wanted to fight for Dan Liris. Saya ingin membuat ayah bangga karena Dan Liris ibarat bayi kesayangan beliau,” kata cucu dari Kasom Tjokrosaputro, pendiri Batik Keris ini.
“Padahal ketika itu perusahaan sedang dalam keadaan rugi. Saya harus menghadapi para buruh yang mogok dan berdemo karena terancam PHK. Utang perusahaan masuk kategori 5 alias macet, mesin-mesin yang ada sudah tua dan boros listrik sehingga harus secepatnya diganti.”
Sebagai penerus, tantangan tersulit baginya adalah mengelola ekspektasi sang ayah. “Tentunya beliau punya ekspektasi besar terhadap penerusnya. Bukan sekadar melanjutkan, tapi menjadi lebih sukses daripada beliau. Saya berusaha me-manage ekspektasi itu dengan meminta orang tua dan para direktur untuk berjalan bersama saya.
“Harus saya akui masa-masa itu memang berat. Cara bank menagih utang seolah saya ini kriminal, saya juga digoblok-goblokin oleh para buruh. Tapi semua itu saya terima dengan ikhlas, tentunya sambil berdoa meminta bantuan Tuhan dan fokus pada langkah-langkah penyelesaian masalah.”
Setelah 10 tahun ia bergabung, utang bank perlahan-lahan terlunasi, dan pada 2014, Dan Liris sudah masuk kategori 1 (lancar). Omzet bertumbuh 3 kali lipat. Yang dulu minus sekarang sudah profit. Kaderisasi pegawai berlangsung lancar sehingga tim jadi seimbang: Ada yang konservatif, idealis, futuris, berapi-api. Mesin-mesin diganti dengan yang baru dan terbaik, bangunan direnovasi.
“Semua terobosan itu saya dasarkan pada golden rule. Kalau saya ingin diperlakukan dengan baik oleh orang lain, maka saya harus memperlakukan orang lain dengan baik pula. Saya akan sangat menghargai para pegawai. klien, dan pemasok yang loyal, dapat dipercaya, dan memberi kontribusi besar bagi perusahaan. Tapi orang-orang yang nggak niat kerja lebih baik tidak bekerja di tempat saya!”
Setelah masalah perusahaan teratasi, barulah Michelle memikirkan passion-nya sendiri. Ia punya pabrik tekstil dan memproduksi untuk brand-brand terkenal di luar negeri. “Karena itu kami pun membuat brand pakaian sendiri, yaitu Bateeq, yang memakai motif batik dan motif tradisional Indonesia lainnya. Kini Bateeq memiliki 56 toko, 36 stand alone, dan 20 outlet di department store. Dan karena saya mempersiapkan diri untuk go international, tahun ini kami masuk ke dalam program Indonesia Fashion Forward (program Jakarta Fashion Week bagi para desainer muda untuk menembus pasar internasional).”
Foto: Image.net