Lengkapilah dengan kecerdasan emosional sehingga tim yang hebat tidak salah memilih Anda sebagai pemimpin.
Dari masa ke masa, segala hal yang ada di dunia ini berkembang. Tidak hanya makhluk hidup, tapi segala sisi pendukung sebuah kehidupan. Salah satunya, manusia dengan akal budinya terus berevolusi menjadi lebih baik. Mereka saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik dengan terus mengembangkan inteligensi yang mereka miliki, bahkan sejak lahir.
Anggapan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) menjadi sebuah tolok ukur kesuksesan seseorang telah menghinggapi pikiran dan hati banyak orang. Jutaan buku pengetahuan tentang pentingnya IQ ini pun telah tercetak dan menjadi bacaan panduan bagi para cikal bakal pemimpin.
Inteligensi emosional
Pada 1995, Daniel Goleman berhasil mematahkan anggapan bahwa IQ berada di atas kecerdasan lainnya. Ia memperkenalkan tokoh utama lainnya yang berperan penting dalam sebuah kepemimpinan yaitu kecerdasan emosional (EQ). Melalui buku yang ditulisnya, Emotional Intelligence, Goleman berhasil memopulerkan istilah inteligensi emosional.
Penulis yang juga psikolog lulusan Harvard University ini pertama kali mengaplikasikan konsep ini ke dunia bisnis melalui artikel yang dimuat pada Harvard Business Review (HBR). Menurutnya, inteligensi emosional merupakan suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri untuk meningkatkan kekuatan yang telah dimiliki.
Dalam risetnya pada hampir 200 perusahaan besar secara global, Goleman menemukan bahwa kepemimpinan berkaitan dengan inteligensi, kesungguhan, penentuan, dan visi, dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang brilian.
Demikian pula yang dijelaskan oleh Rima Olivia, Psi., psikolog, trainer, dan founder Ahmada Consulting. “Emosi berasal dari kata ‘e = energi’ dan ‘motion = gerakan’. Emosi adalah energi yang menggerakkan,” jelasnya. Hal ini berarti, kepemimpinan adalah tentang menggerakkan. Maka, kecerdasan emosional, mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin.
“Kepemimpinan yang memahami kondisi emosi dirinya, membaca kondisi emosi anak buah, kompetitornya mampu mengelola dan memanfaatkan kondisi itu dengan baik, teramat mempengaruhi keberhasilan dan kemampuannya untuk fokus pada tujuan, sekaligus mengendalikan proses dengan baik,” kata Rima.
Sementara itu, Norman Rosenthal, MD, psikiater, peneliti, dan penulis buku The Emotional Revolution, menyarankan untuk mengapresiasi perasaan orang lain tanpa mengabaikan emosi Anda sendiri.
Menurutnya, Anda sebaiknya berhati-hati untuk menilai atau mengubah perasaan terlalu cepat. Berikan waktu untuk berpikir dan memanfaatkan kesempatan dengan baik, terutama ketika emosi Anda berada di puncak. Tujuannya adalah untuk menetralisasi emosi sebelum Anda mengambil sebuah keputusan atau kesepakatan.
Komponen utama
Semakin lengkap memiliki inteligensi, tentunya Anda semakin mudah menanjak dan berdampak luas bagi kehidupan sehari-hari. “Untuk itu, bukan hanya teknis dan kecerdasan saja. emosi, sosial, spiritual pun perlu sangat lengkap,” jelas Rima.
Mengapa demikian? Menurut Rima, pemimpin selalu berkaitan dengan pengikutnya (follower). Semakin tinggi jabatannya, semakin beragam pula pengikutnya, dan semakin tinggi pula tantangannya.
Kesamaan antara diri Anda dan pengikut Anda kelak memberi jalan yang mudah untuk mengelola, menginspirasi, dan menggiring mereka menuju titik yang Anda inginkan. Maka, tidak ada pilihan lain, kualitas dan kapasitas pemimpin terus-menerus dikembangkan. Kabar baiknya, emosi dapat diasah, dilatih, dikembangkan, dan diperkaya.