Duo Tino Saroengallo dan Tio Pakusadewo mengajak penonton film ini menyusuri penggalan sejarah bangsa ini lewat pidato presiden pertama RI.
Menjelang peringatan kemerdekaan RI, ada banyak ajakan untuk mengembalikan semangat nasionalisme. Film Pantja Sila adalah salah satunya. Namun tak seperti ajakan biasa, film ini menggemakan nasionalisme langsung lewat pidato presiden Soekarno. Berjudul Pantja Sila: Cita-cita & Realita, film ini menghadirkan kembali sejarah lahirnya Pancasila, yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Film dimulai dengan beberapa opini singkat dari para cendekiawan pendiri bangsa soal gagasan kebangsaan. Ada Ki Bagoes Hadikoesoemo, Liem Koen Hian, serta R. Abikoesno Tjokrosoejoso dan M. Yamin. Tona suara mereka lugas, dan menyuarakan pemikiran mereka yang kuat tanpa bertele-tele. Mereka sedang berada dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPU-PK) pada 1 Juni 1945 silam.
Setelah mereka bergantian mengutarakan pendapat, giliran Soekarno (Tio Pakusadewo) yang naik mimbar. Ia terekam dalam setelan safari berwarna putih yang ikonik, berapi-api dan penuh optimisme yang membara untuk memerdekakan Indonesia. Yang paling mengena adalah pendapatnya untuk segera merdeka tanpa menunggu semua masalah bangsa ini selesai.
“Indonesia merdeka, sekarang!” serunya menggelegar.
Ia sadar, Indonesia kala itu masih banyak yang tak sehat badan. Banyak penyakit malaria, disentri, dan masalah-masalah lainnya. Tapi ia mantap berkata, “Kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia yang merdeka itulah kita menyehatken rakyat kita.... Di dalam Indonesia merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat.” Dan di situlah, ia mengajak untuk berembuk soal filosofi dasar negara.
Dalam konferensi pers film ini yang digelar pada 3 Agustus lalu di Studio 1 XXI Epicentrum, Jakarta, Tio Pakusadewo bercerita soal asal muasal skrip film ini yang diangkat dari teks stenografi pidato Presiden Soekarno. Teks pidato ini ia ‘temui’ di sebuah buku lama berjudul Pedoman ntuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat, Dijilid 1.
“Saya sebagai aktor hanya membawakan, tapi pidatonya itulah peran penting yang harus didengarkan, dan menjadi manfaat untuk yang mendengar,” ujar Tio soal film ini.
Ada banyak referensi bacaan karya pemikir klasik yang disebut sang presiden. Ada banyak juga istilah asing dalam Bahasa Jerman, Belanda, dan Rusia yang diucapkannya. Kata Tio, sebenarnya ia sendiri tak membaca semua karya itu. Katanya, “Saya nggak baca Leo Tolstoy yang bahasanya aja saya nggak ngerti. Menyebut bahasa-bahasa itu sebenarnya bukan mulut yang biasa. Setengah mati belajarnya.”
Film berdurasi 78 menit ini disutradarai oleh Tino Saroengallo dan Tio Pakusadewo, serta menampilkan monolog Soekarno. Ada potongan rekaman arsip lama yang mendukung gagasan film ini. Menyaksikan Pantja Sila: Cita-cita & Realita, rasanya bagai dibawa kembali ke masa lalu, ke dalam ruang sidang bersejarah dan menatap langsung sang Bapak Bangsa. Begitu idealis dengan visi-visinya yang luhur tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Di saat yang sama, Anda bagai diajak menengok kenyataan pasca kemerdekaan di masa kini.
Ada hal menarik juga yang bisa ditarik dalam kehidupan kita sebagai individu bahwa kita tak perlu menunggu masalah selesai untuk memulai langkah baru. Yang penting, ada pemahaman bahwa langkah baru ini hal penting yang layak dipertahankan. Seperti kata Soekarno, mana kala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan.
Foto: Jakarta Media Syndication, Gepetto Production