Pandji Pragiwaksono sempat sedih ketika pihak sekolah memberi cap dirinya sebagai anak yang bodoh.
Saat itu ia duduk di kelas 4 SD. “Sampai sekarang masih ada sisanya,” kenang Pandji. Ia mendapat cap itu bukan tanpa alasan. Pandji kecil mendapat peringkat ke-29 dari 30 siswa.
Hal itu berlanjut sampai SMP dan SMA. “Bayangkan, ayah saya seorang jenius eksakta. Belum selesai kuliah di UGM, dapat beasiswa kuliah di ITB. Belum selesai kuliah di ITB, dapat tawaran kuliah di Jepang. Tapi anaknya nilai Matematika-nya dua,” kisah Pandji.
Ayahnya, Koes Pratomo Wongsoyudo, salah seorang pendiri organisasi karate di Indonesia. Ditambah lagi sang ibu yang bekerja di perbankan. Tapi Pandji memiliki impian lain yang tidak diajarkan di sekolah saat itu, dan tidak dikuasai ayah-ibunya. Pandji senang berbicara. Ia ingin bicara dalam berbagai medium. Beruntung Pandji memiliki orang tua yang mendukung mimpinya. “Ayah berpesan, kalau punya impian, sebanyak apa pun, jangan coba membunuhnya,” ujar Pandji.
Kata-kata itulah yang mendorong Pandji untuk mewujudkan impiannya satu per satu, mulai dari penyiar radio, presenter acara televisi, penulis buku, rapper, sampai stand-up comedian. Ia bahkan mulai bermain film. Selain film komedi, ia bermain film drama dan beradu akting dengan Reza Rahadian di film Rudy Habibie. Kegigihan yang diajarkan ayahnya dulu kini Pandji turunkan kepada dua anaknya.
Kalimat “Saya bekerja untuk membiayai karya” pernah digaungkan Pandji saat merintis karier sebagai penyiar radio dan rapper. Sebagai penyiar radio di pagi hari, ia diminta untuk tidak menyampaikan materi yang ‘berat’, padahal ia sangat tertarik pada isu-isu sosial dan politik (sospol). Akhirnya, isu itu ia tuangkan dalam lagu-lagu rap (hip-hop) yang ia ciptakan.
“Karena penikmat musik rap sospol sedikit, maka penghasilan saya sebagai penyiar radio saya gunakan untuk bermusik,” jelas Pandji. Ia akui, sampai sekarang ia belum bisa mengandalkan finansial dari musik rap. Hal itu, menurutnya, berbeda dari stand-up comedy.
Sebagai stand-up comedian, Pandji telah empat kali menggelar special show. Yang pertama adalah Merdeka dalam Bercanda, lalu Mesakke Bangsaku (tur nasional), Mesakke Bangsaku(tur dunia), dan Juru Bicara (tur dunia), tur yang dimulai sejak April 2016 di 24 kota di lima benua. Penutupan Juru Bicara sendiri akan digelar di Jakarta pada 10 Desember 2016. Kelak, akan ada juga galeri foto yang memperlihatkan perjalanan panjang di balik show Juru Bicara.
Pandji memiliki alasan ekternal dan internal untuk Juru Bicara. Alasan eksternal adalah ia ingin menjadi juru bicara untuk semua orang. Ia pernah bertemu dengan Suciwati (istri Munir) dan diminta bicara isu HAM. Ada pula yang memintanya bicara soal konservasi alam, sensor televisi, hingga konflik agama.
“Tidak ada yang lucu topiknya. Tapi ini terlalu penting untuk tidak dibahas. Kalau bukan pertunjukan lawak, orang nggak mau tahu,” ujar Pandji. Sedangkan alasan internal menggelar tur dunia dua kali adalah, “Ada keinginan untuk enunjukkan bahwa ranking di sekolah bukan takdir seorang anak,” kata Pandji.
Ada banyak jalan untuk berkembang. Untuk memperkaya pengetahuan, Pandji senang membaca. Ia memiliki perpustakaan pribadi di rumah. Namun image ‘lucu’ yang telanjur melekat pada dirinya sering membuat orang ragu. “Saya pernah ditepuk orang saat baca buku dan dia bilang, kayak ngerti aja lo baca buku,” kenangnya lagi.
Pandji ingin dikenal sebagai manusia yang utuh—bisa lucu, serius, marah, juga sedih. Dan, meski peduli pada politik, Pandji tidak tertarik menjadi politisi. “Pandji sudah berdamai
dengan diri sendiri dan menerima kenyataan bahwa Pandji pintar ngomong,” tegas Pandji.
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya; Siti H. Hanifiah
Lokasi: Edwin's Gallery, Jakarta Selatan