Sudut bibirnya melebar, matanya membesar, dan suaranya terdengar riang ketika ia bercerita tentang cokelat. Tissa tahu persis passion-nya: Memperkenalkan cita rasa cokelat asli Nusantara ke dalam dan luar negeri.
Traveling Membawa Berkah
Wisatanya ke Swiss pada tahun 2011 memberinya insight -kehebatan cokelat Indonesia. Perasaan kaget lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini muncul saat memandang cokelat asal Indonesia di butik cokelat di Swiss. Ada cokelat dari Bali, bahkan dari Jember!
"Saat itu saya bingung -memangnya cokelat Indonesia segitu bagusnya, ya? Saya tidak tahu bahwa Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar nomor tiga di dunia. Dari situ saya menyadari bahwa cokelat kita memang dikenal oleh produsen cokelat di Swiss, Belgia, dan Amerika," cerita Tissa. Bersama sang adik, Irvan Helmi, Tissa lantas bertekad memproduksi cokelat dalam negeri yang berkualitas. Keduanya merancang konsep bisnis kafe yang memiliki pabrik cokelat sendiri.
Turning point hidup Tissa terjadi tahun 2013, ketika ia memutuskan untuk membuka Pipiltin Cocoa (dalam Bahasa Aztec kuno,"pipiltin" berarti bangsawan di zaman Aztec di Meksiko kuno). Tissa pun berani meninggalkan profesinya sebagai pengacara, berbekal membaca buku dan bertanya kepada chocolatier asal Prancis, Francis Mestre. Wanita kelahiran Jakarta, 15 Agustus 1978 ini juga mengikuti workshop untuk mendapat Master Chocolatier Certification, sertifikat dari Felchlin Condirama di Kota Schwyz, Swiss.
Dari Kebun Sampai Hotel
Bahan yang berkualitas dan cara mengolah yang presisi adalah kunci dari cokelat berkualitas. Karena itu, Tissa menerapkan standar yang ketat bagi para petani cokelat, sampai proses fermentasi.
"Tanpa proses fermentasi, rasa cokelat dari Bali, Banyuwangi, maupun Aceh tidak ada bedanya. Padahal tiap cokelat punya rasa yang khas. Cokelat Tabanan, Bali, rasanya seperti buah, ada wangi beri. Cokelat dari Pidie Jaya, Aceh, rasanya seperti kacang-kacangan. Sedangkan cokelat dari Glenmore, Banyuwangi, rasanya seperti asam kismis," jelas lulusan S-2 Law and Economics dari Utrecht University, Belanda, ini.
Biasa dibeli dalam skala besar, para petani meremehkan Pipiltin Cocoa. "Pesanan kami sedikit, tapi minta cokelat difermentasi. Memang memberatkan mereka. Tapi saya jelaskan bahwa tujuan Pipiltin Cocoa adalah membuat cokelat Indonesia semakin dikenal. Setelah cokelatnya jadi, kami kirim produknya ke para petani. Lambat laun kami mendapat kepercayaan mereka," kata Tissa, yang memberikan harga 40% di atas harga pasar. Kini cokelat produksinya dipesan di hotel berbintang, restoran, dan kafe.
Tip bisnis kuliner ala Tissa:
1. Jalankan bisnis sesuai passion karena passion membuat Anda mampu bertahan menghadapi berbagai kesulitan.
2. Lakukan riset sedalam mungkin karean riset sangat penting untuk memahami proses produksi, mencari pemasok bahan terbaik, di mana membeli alat-alat yang dibutuhkan, hingga membuat business plan.
Foto: Tody Haryanto
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah
Traveling Membawa Berkah
Wisatanya ke Swiss pada tahun 2011 memberinya insight -kehebatan cokelat Indonesia. Perasaan kaget lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini muncul saat memandang cokelat asal Indonesia di butik cokelat di Swiss. Ada cokelat dari Bali, bahkan dari Jember!
"Saat itu saya bingung -memangnya cokelat Indonesia segitu bagusnya, ya? Saya tidak tahu bahwa Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar nomor tiga di dunia. Dari situ saya menyadari bahwa cokelat kita memang dikenal oleh produsen cokelat di Swiss, Belgia, dan Amerika," cerita Tissa. Bersama sang adik, Irvan Helmi, Tissa lantas bertekad memproduksi cokelat dalam negeri yang berkualitas. Keduanya merancang konsep bisnis kafe yang memiliki pabrik cokelat sendiri.
Turning point hidup Tissa terjadi tahun 2013, ketika ia memutuskan untuk membuka Pipiltin Cocoa (dalam Bahasa Aztec kuno,"pipiltin" berarti bangsawan di zaman Aztec di Meksiko kuno). Tissa pun berani meninggalkan profesinya sebagai pengacara, berbekal membaca buku dan bertanya kepada chocolatier asal Prancis, Francis Mestre. Wanita kelahiran Jakarta, 15 Agustus 1978 ini juga mengikuti workshop untuk mendapat Master Chocolatier Certification, sertifikat dari Felchlin Condirama di Kota Schwyz, Swiss.
Dari Kebun Sampai Hotel
Bahan yang berkualitas dan cara mengolah yang presisi adalah kunci dari cokelat berkualitas. Karena itu, Tissa menerapkan standar yang ketat bagi para petani cokelat, sampai proses fermentasi.
"Tanpa proses fermentasi, rasa cokelat dari Bali, Banyuwangi, maupun Aceh tidak ada bedanya. Padahal tiap cokelat punya rasa yang khas. Cokelat Tabanan, Bali, rasanya seperti buah, ada wangi beri. Cokelat dari Pidie Jaya, Aceh, rasanya seperti kacang-kacangan. Sedangkan cokelat dari Glenmore, Banyuwangi, rasanya seperti asam kismis," jelas lulusan S-2 Law and Economics dari Utrecht University, Belanda, ini.
Biasa dibeli dalam skala besar, para petani meremehkan Pipiltin Cocoa. "Pesanan kami sedikit, tapi minta cokelat difermentasi. Memang memberatkan mereka. Tapi saya jelaskan bahwa tujuan Pipiltin Cocoa adalah membuat cokelat Indonesia semakin dikenal. Setelah cokelatnya jadi, kami kirim produknya ke para petani. Lambat laun kami mendapat kepercayaan mereka," kata Tissa, yang memberikan harga 40% di atas harga pasar. Kini cokelat produksinya dipesan di hotel berbintang, restoran, dan kafe.
Tip bisnis kuliner ala Tissa:
1. Jalankan bisnis sesuai passion karena passion membuat Anda mampu bertahan menghadapi berbagai kesulitan.
2. Lakukan riset sedalam mungkin karean riset sangat penting untuk memahami proses produksi, mencari pemasok bahan terbaik, di mana membeli alat-alat yang dibutuhkan, hingga membuat business plan.
Foto: Tody Haryanto
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah