Kampanye tepat sasaran
Ini sebuah kabar baik. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, konsumsi ikan Indonesia mengalami tren peningkatan 6,27% per
tahun sepanjang 2011-2015. Upaya pemerintah melakukan kampanye serta kegiatan gemar makan ikan ternyata mampu mendorong konsumsi ikan masyarakat kita.
Untuk itu, pemerintah menargetkan konsumsi ikan nasional pada 2019 mencapai 54,5 kg per kapita per tahun atau meningkat 7,3% di periode
2016-2019.
Pada 2015, konsumsi ikan masyarakat mencapai 41,1 kg per kapita per tahun, melampaui yang ditargetkan sebesar 40,9 kg per kapita per tahun. Pada 2016, konsumsi ikan nasional ditargetkan akan naik 6,74% menjadi 43,88 kg per kapita per tahun (hasil belum diketahui).
Bahwa ikan (terutama ikan laut) kaya akan omega-3, sehingga baik untuk kesehatan dan kecerdasan, rasanya banyak orang sudah tahu. Bahwa
orang Jepang pintar-pintar karena banyak makan ikan, semua orang juga tahu. Tapi, kalau mengacu pada data FAO, tetap saja orang Indonesia termasuk masyarakat yang tak suka makan ikan. Lantas apa yang salah?
Bisa jadi ini soal kampanye, promosi, dan cara pemasarannya yang kurang tepat sasaran. Mi, terutama mi instan, jelas bukan makanan asli
Indonesia. Supermi, salah satu merek mi instan di Indonesia, baru diperkenalkan pada tahun 1968, sementara Indomie malah baru pada 1972.
Namun, sekarang mi instan sudah berhasil menjadi makanan pokok kedua orang Indonesia setelah nasi.
Mengikuti promosi dan pemasaran bergaya pop culture ala Coca Cola, ada tiga unsur yang menjadi ujung tombak sebuah produk makanan
digemari dan dibeli banyak orang—enak, murah, gampang didapat, dan terkenal (karena sering diiklankan, sehingga orang yang membelinya
merasa ikut menjadi bagian dari gaya hidup tersebut).
Dengan pemasaran seperti itulah Indomie dan teman-temannya berhasil membuat masyarakat Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia
sebagai bangsa pemakan mi.
Gerakan gemar makan ikan juga bisa dipromosikan dengan isu-isu yang lebih masa kini, sehingga orang mau makan ikan bukan hanya karena
gizinya, tapi juga karena gaya hidupnya.
Misalnya, dengan mengampanyekan bahwa bila Anda banyak makan ikan laut, berarti Anda ikut berkontribusi menyelamatkan lingkungan hidup. Apalagi sekarang ikan juga sudah lebih mudah didapat oleh nelayan lokal (berkat kebijakan berani dari Menteri Susi), sehingga lebih
banyak beredar di pasaran, dan dengan demikian harganya menjadi lebih murah.
Untuk urusan promosi, sekarang sudah banyak media, termasuk media sosial, yang bisa digunakan semenarik dan seefektif mungkin untuk
menjangkau kelompok-kelompok masyarakat yang ditargetkan.
Tapi, ada satu unsur yang paling vital untuk membuat orang Indonesia suka makan ikan. Yaitu, peran ibu sebagai penentu menu keluarga.
“Kalau ibu doyan makan ikan, atau sangat menyadari betapa pentingnya konsumsi ikan bagi kesehatan, maka ia akan menularkan pada anak-anaknya lewat menu sehari-hari, sehingga sejak kecil anak-anak jadi gemar dan terbiasa makan ikan,” kata Sitta lagi.
Foto: 123RF