“Jangan lupa menu ikan untuk Sahur & Buka Puasa. Makan ikan menjadikan kita sehat, pintar. Tidak makan ikan saya tenggelamkan.”
Pesan yang dicuitkan lewat Twitter oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti, saat menyambut Ramadan lalu, dalam sekejap
menjadi viral di media sosial.
Meski semua tahu ancaman itu bernada bercanda, ternyata cukup banyak yang menanggapinya dengan serius—terlihat dari komentar-komentar
yang masuk. Ada yang bilang ingin berusaha makan ikan lebih banyak, ada pula yang berusaha untuk doyan ikan meski sebelumnya tak terlalu
suka.
Seperti kita tahu, Susi Pudjiastuti adalah menteri yang eksentrik dan sangat berani—antara lain dengan keputusannya untuk menenggelamkan
kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Tak heran bila ia menjadi pahlawan baru sekaligus sangat populer di mata masyarakat Indonesia.
Kita memang belum tahu bagaimana hasil ‘kampanye’ Menteri Susi tersebut secara statistik. Tapi, tak dapat disangkal, kampanye lewat media sosial ala Menteri Susi itu terasa lebih gaul dan lebih tepat sasaran, karena menyasar langsung ke Generasi Millennials, pengguna terbanyak media sosial, yang merupakan target utama kampanye gemar makan ikan.
Sejak dulu bukan pemakan ikan
Mari kita simak dua hasil survei berikut: Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia sebagai masyarakat pengonsumsi mi terbanyak setelah Cina (data World Instant Noodle Association 2015). Indonesia merupakan penghasil ikan (laut) kedua dari 10 negara penghasil ikan di dunia. Tapi masyarakat Indonesia menduduki peringkat terakhir di Asia Tenggara sebagai pengonsumsi ikan (data FAO 2016).
“Kedua data tersebut sungguh ironis. Bayangkan, gandum (sebagai bahan utama mi) tidak tumbuh di Indonesia, tapi kita sangat doyan makan mi. Sementara, negara kita dikelilingi lautan, tapi kita tak doyan makan ikan,” kata Sitta Manurung, pengamat kuliner yang mengambil bidang Sosiologi Pangan untuk studi S-2-nya.
Merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tahun 2014, konsumsi ikan nasional memang hanya mencapai 38 kg per kapita per
tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 70 kg, dan Jepang 140 kg per kapita per tahun.
Untuk mengampanyekan gerakan gemar makan ikan, kita sering mengingatkan kembali bahwa nenek moyang kita adalah pelaut—dan otomatis
pelaut pasti doyan makan ikan. Tapi, benarkah demikian?
Dalam buku yang ditulisnya, The History of Java, Sir Stamford Raffles memang menyebutkan bahwa makanan sehari-sehari masyarakat Jawa
adalah iwak atau ikan.
Padahal, menurut Sitta, dalam Bahasa Jawa, iwak bisa juga berarti lauk-pauk yang tak hanya ikan. Bisa iwak pitik (lauk ayam), iwak endog (lauk telur), iwak wedhus (lauk daging kambing), bisa pula benar-benar iwak yang berarti ikan. Buktinya, di halaman-halaman selanjutnya, Raffles lebih banyak membahas tentang iwak yang bukan ikan.
Hal itu dikuatkan oleh buku kumpulan resep makanan Indonesia, Mustika Rasa, yang diterbitkan tahun 1964 atas perintah Presiden Soekarno.
“Dari ribuan resep yang ada di buku itu, hanya ada 175 resep ikan. Jenis ikannya pun kebanyakan itu-itu lagi. Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa sejak dulu masyarakat kita secara umum memang bukan pemakan ikan yang aktif,” ungkap Sitta.
Nenek moyang kita memang pelaut. Tapi kalau kita mengkaji kembali sejarah Nusantara, armada kerajaan Majapahit dan Sriwijaya memang
kerap mengarungi lautan, tapi lebih untuk keperluan penaklukan wilayah lain, atau distribusi barang dan orang. Kalaupun mereka banyak makan ikan, karena ikanlah yang paling mudah didapat selama berlayar.
Kondisi alam dan infrastruktur yang tidak memadai dari wilayah pesisir menuju wilayah pedalaman (di zaman dulu) membuat ikan laut segar
sulit dinikmati oleh masyarakat pedalaman. Akibatnya, orang pedalaman lebih banyak mengenal dan mengonsumsi ikan yang sudah diasinkan
tau diawetkan.
“Bukti lain adalah nelayan kita sejak dulu hingga sekarang selalu diidentikkan dengan kemiskinan. Sementara pusat kerajaan-kerajaan Nusantara—khususnya di Jawa—lebih banyak berlokasi di pedalaman, cukup jauh dari pesisir. Padahal, masyarakat keraton-lah yang kerap menjadi pencipta tren gaya hidup, yang kemudian diikuti oleh lapisan masyarakat di bawahnya.
“Karena jarang makan ikan laut segar, orang keraton lebih banyak makan daging ayam atau daging sapi. Tak heran kalau daging ayam dan daging sapi dianggap lebih bergengsi ketimbang ikan laut,” kata Sitta lagi.
Namun sebenarnya bukan hanya orang Indonesia yang merupakan masyarakat maritim tapi tak doyan ikan. Orang Inggris zaman dulu yang dengan digdaya selalu menyerukan, “The British rules the wave,” ternyata juga bukan termasuk bangsa pemakan ikan. Alasan mereka, baunya amis, mengolahnya repot, dan makannya juga repot karena banyak durinya.
Mereka lebih suka membeli ikan yang sudah dijadikan fillet, dan dengan demikian harganya jadi mahal. Lebih mahal daripada daging ayam dan daging sapi/babi. Tak heran bila sekarang orang Inggris lebih dikenal sebagai pemakan daging (sapi, babi, domba, ayam).