Popularitas bisa membuat orang lupa diri. Untungnya, ada yang selalu mengingatkan Marcell Siahaan untuk menjejakkan kaki di bumi.
Siang itu, saya memiliki janji temu dengan Marcell. Deg-degan tentu saja, apalagi ia idola saya. “Halo, saya Marcell. Sudah menunggu lama, ya?” Genggaman tangannya erat. Mata saya terpaku pada mata sipit yang ‘menghilang’ saat ia tersenyum.
Marcell yang saya kenal adalah penyanyi populer. Tapi hidupnya tak selalu begini. Dulu, ia terbiasa naik angkot dan becak—ke mana-mana menenteng skateboard. “Zaman di Puppen yang minta foto hanya sekali dalam setahun.” Kini situasi jauh berbeda. Pernah suatu kali ia disoraki satu lantai mal saat menemani istrinya, Rima Melati Adams, berbelanja.
Popularitas adalah risiko seorang public figure. Marcell sangat paham, malah ia merasa diapresiasi. Namun bukan soal popularitas yang membuat Marcell tak nyaman. Terkadang jam kerja yang tak kenal waktu, juga bekerja dengan orang yang berbeda prinsip membuatnya tertekan.
Ketika rasa lelah melanda, rumah adalah tempatnya melepas penat. “Keluarga itu pilarnya. Kalau sudah capek, saya harus pulang. Saya harus lihat rumah, istri dan anak-anak saya. Itu obatnya. Sejauh ini mereka yang bikin saya waras.” Marcell hanya ingin menjadi diri sendiri, apa adanya. Ia seseorang yang bisa pergi ke mal dengan celana pendek dan sandal jepit saat mengantar anak sulungnya, Keenan, potong rambut.
Sebelum dikenal sebagai penyanyi, Marcell adalah drummer band beraliran hard core new metal bernama Puppen di Bandung. “Walaupun sudah suka nyanyi, saya tidak pernah bercita-cita menyanyi secara profesional,” ujar ayah dari tiga putra ini.
Kebetulan kesempatan itu datang. Kata seorang teman, Shanty mencari teman duet. Saat itu, Marcell tak banyak berharap. Ia sudah tahu bahwa Shanty akan disandingkan dengan Andy /rif atau Armand Maulana. Pihak label hanya mencari penyanyi alternatif. Tapi ia tetap mengirim demo rekaman.