Saat Christine Hakim memenangkan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia tahun 1974 lewat “Cinta Pertama,” ia langsung menjadi pusat pemberitaan media massa pada saat itu.
Perannya sebagai Ade, remaja, anak orang kaya, anak satu-satunya, manja, dan jatuh cinta kepada lelaki lebih tua dari keluarga sederhana dibahas oleh berbagai media.
“Saya muncul di halaman depan. Media membicarakan akting saya yang saya juga tidak paham. Saya tidak mengerti akting. Saya hanya spontanitas melakukan seperti apa yang diarahkan atau diminta Pak Teguh (Teguh Karya, red),” kenang Christine.
Christine Hakim mengaku awalnya tidak menyukai dunia film. Baginya, film adalah dunia yang begitu jauh. Dunia yang glamor, penuh sensasi, dan gosip. Sedangkan dirinya lebih merawat cita-cita ingin menjadi arsitek atau psikolog. Sesekali ia menjalani pemotretan untuk halaman mode majalah, itu pun karena kenal dengan fotografer. Ia tak benar-benar serius ingin menjadi model.
Namun hasil pemotretan itu dilihat oleh sutradara Teguh Karya. Teguh yang sedang berencana memproduksi film, mendatangi rumah Christine dan menawarkan peran untuk film “Cinta Pertama” (1973). Saat itu Teguh datang bersama Slamet Rahardjo. Kedatangan pertama, Christine sedang berada di Bandung. Saat kembali ke Jakarta, ibunda Christine mengabari kalau ada sutradara Teguh Karya menawari peran di sebuah film.
“Waktu itu saya anak yang pemalu, pendiam, dan film adalah bidang yang jauh sekali dari dunia saya, sehingga sama sekali tidak kepingin. Saya senangnya menggeluti ilmu pasti, matematika,” jelas Christine. Ia berencana menolak tawaran itu, sebab sebelumnya ia juga sudah pernah menolak tawaran dari sutradara Asrul Sani.
Namun, karena Teguh Karya dan Slamet Rahardjo begitu gigih menemui Christine dan membawa Christine ke kantornya, akhirnya ia luluh juga. “Pulang sekolah saya dijemput mas Slamet, diajak main ke sanggar. Keesokan harinya main ke teater populer. Seminggu kemudian saya sudah fitting baju dan mulai syuting. Saya merasa tidak pernah menolak, tapi juga tidak mengiyakan.”
Meski langsung meraih piala citra setelah memerankan film pertama, namun Christine belum bisa jatuh cinta pada film dan akting. Ia ingin berhenti tetapi ditawari kembali film kedua oleh Teguh Karya. Lalu film ketiga, ia bekerja bersama sutradara Sjumandjaja. Film keempat dan kelima, ia kembali bekerja bersama sutradara Teguh Karya.
“Baru di film kelima saya tahu, film itu identik dengan ilmu pengerahuan. Dalam film, semua ilmu ada: teknologi, sosiologi, sejarah, politik. Saya jadi mencintai dunia film karena saya berpikir, jika dulu saya menjadi arsitek atau psikolog maka saya hanya menguasai satu bidang saja. Sedangkan dalam film, kita bisa berbagi banyak sekali ilmu pengetahuan. Bodoh sekali jika saya tidak memajukan diri saya di sini,” ujar Christine.
Setelah mencintai dunia film dan akting, Christine akhirnya memutuskan untuk terus berkarier di bidang ini. Hal pertama yang ia lakukan adalah memilih sutradara. “Saya selektif. Saya percaya cerita yang sederhana di tangan sutradara yang baik akan jadi film yang baik. Tapi kalau cerita sebagus apa pun kalau di tangan sutradara yang buruk, tidak akan maksimal. Saya juga masih harus membuktikan apakah penghargaan-penghargaan itu patut saya peroleh. Tantangan saya adalah menerima berbagai macam peran tetap di tangan sutradara yang baik.”
Foto: Shinta Meliza