Tahun 2002 Christine Hakim diundang sebagai juri Festival Film Cannes, festival film internasional yang digelar di Prancis. Ia diklaim sebagai aktris Indonesia pertama yang menjadi juri di fetsival film internasional itu.
Tahun 2001, Christine Hakim telah memerankan film ke-18, berjudul "Pasir Berbisik." Ia beradu peran dengan Dian Sastrowardoyo sebagai ibu dari Daya (diperankan Dian). Film ini diputar di Seattle International Film Festival dan Brisbane International Film Festival tahun 2002. Setelah kesuksesan "Pasir Berbisik," Christine Hakim diundang menjadi juri di Cannes Film Festival tahun 2002. Ia diklaim sebagai aktor Indonesia pertama yang menjadi juri di Cannes. "Saya tidak tahu saya yang pertama atau bukan," begitu respons Christine.
Christine mengaku tidak kaget pada waktu itu. Ia telah menjalin persahabatan dengan negara lain sepanjang kariernya sebagai aktris. Ia melakukan studi banding antara Prancis dengan Indonesia. "Indonesia mungkin sejarah kebudayaannya masih muda, tetapi sejarah peradabannya sama tuanya dengan Perancis. Saya melihat sepertinya kedua bangsa ini memiliki chemistry yang kuat," kenang Christine saat ditemui di rumahnya.
Christine pertama kali diundang ke Festival Film Cannes tahun 1985. "Buat saya Cannes itu seperti Mekah-nya orang film," ungkap Christine menyampaikan kekagumannya. Kesempatan kedua ke Cannes adalah tahun 1989, dan film yang diperankannya, "Tjoet Nja' Dhien," memenangkan penghargaan Best International Film di Festival Film Cannes. Setelah itu ia diundang kembali ke Cannes untuk pemutaran film yang juga diperankannya, "Daun di Atas Bantal," tahun 1999.
"Sebetulnya sebelum dihubungi pihak Cannes Film Festival untuk menjadi juri, saya sudah dijadwalkan akan menerima penghargaan kebudayaan Asia Pasifik dari Nikei di Jepang. Bahkan ibu kandung saya juga diundang. Persiapannya sudah detail, sampai ke penginapan dan makanan ibu saya semua sudah disiapkan," jelas Christine. "Saya punya ibu angkat orang Jepang. Beliau berpendapat, meskipun saya hampir setiap tahun pergi ke Cannes, kali ini berbeda, untuk menjadi juri, ini penting untuk Indonesia dan Asia."
Meski merasa tidak enak dengan orang Jepang, Christine akhirnya memberitahu bahwa ia harus ke Cannes untuk menjadi juri, mewakili Indonesia. "Itulah hebatnya orang Jepang. Mereka malah membuat ceremony khusus buat saya setelah saya pulang dari Cannes. Acara yang semula dijadwalkan di hotel, digelar khusus di kantor Nikei, dan saya tetap menerima penghargaan itu."
Hubungan Christine dengan Jepang juga sudah dimulai sejak lama. Christine sangat menyukai orang-orang Jepang yang sangat menjaga kebersihan. Orang Jepang juga saling mendukung dan saling membutuhkan dengan orang Indonesia. Ia juga pernah bermain film di Jepang saat perfilman Indonesia sedang mati suri.
"Ada wartawan yang bertanya, minder tidak saya saat menjadi juri di Cannes? Jadi begini, mereka tahu apa yang saya tidak tahu dan begitu pula sebaliknya. Pengalaman saya puluhan tahun di industri film Indonesia membuat saya bisa memiliki landasan saat berargumentasi. Pasti kelihatan mana yang mengerti film atau tidak," jelas Christine.
Meski telah beberapa kali hadir di Festival Film Cannes dan kemudian menjadi juri, Christine merasa dirinya sama sekali tidak berambisi untuk go international. "Jangankan go international, menjadi aktris di Indonesia saja saya sempat bingung. Setelah menghadiri Cannes Film Festival pertama kali, saya jadi mengerti bagaimana seorang bintang diperlakukan. Saya merasa bersyukur menjadi aktris di Indonesia, masih menginjak bumi, tidak di awang-awang. Saya tidak harus hidup jadi bintang yang menghias langit. Saya ini hanya manusia biasa, hambanya Tuhan. Saya menjalani peran sebagai aktris untuk membawa misi memperkenalkan kebudayaan Indonesia, bukan memperkenalkan diri saya," kata Christine.
Itu sebabnya Christine selalu memilih peran-peran yang menyuarakan orang-orang yang tak bisa bersuara. Di film terbarunya di tahun 2017, "Kartini," Christine berperan sebagai ibu kandung Kartini yang tidak berdarah ningrat. Dalam memerankan Ngasirah, Christine kembali beradu akting dengan Dian Sastrowardoyo. Karena tidak berdarah ningrat, Ngasirah harus tidur di kamar belakang, kamar yang terpisah dari rumah utama yang dihuni Kartini, ayah Kartini, ibu tiri Kartini dan saudara-saudara Kartini. Melalui film ini, kita bisa mengetahui tak hanya kehidupan Kartini, tetapi sekaligus kehidupan Ngasirah, perempuan yang melahirkan Kartini.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah gaya: Nanda Djohan