Auckland
Auckland adalah kota terbesar di Selandia Baru, terletak di pucuk utara North Island. Jumlah penduduk hanya sekitar 1,45 juta orang—itu pun akibat penggabungan dengan beberapa kota kecil di sekitarnya (tahun 2010). Sistem pemekaran Kota Auckland konon mengikuti pola pengembangan Kota Los Angeles di California. Keduanya sampai sekarang menjadi sister-cities.
Karena menginap di Hotel De Brett di pusat kota (biasa disebut wilayah CBD atau Central Business District), jarak tempuh ke berbagai tempat terasa sangat ramah untuk kaki saya, yang sebelumnya telah menempuh penerbangan 15 jam nonstop dari Jakarta.
Segelas cappuccino decaf dan sekeping quisadella telah mengembalikan energi saya. Menuju Art Gallery Toi O Tamaki (ikon Kota Auckland) hanya perlu lima menit jalan kaki. Galeri seni terbesar dan tertua di Selandia Baru ini menempati sebuah gedung di tepi Albert Park dan dibangun pada tahun 1888. Pada awalnya galeri seni ini berbagi ruang dengan perpustakaan umum. Namun koleksi seni yang terus bertambah (lebih dari 15.000 jenis) telah menggesar perpustakaan ke gedung terpisah.
Uniknya, sejak semula galeri seni ini didanai oleh warga, bukan oleh pemeritah. Galeri ini terkenal karena koleksi benda seninya yang kaya, termasuk hasil karya seniman dan seniwati Maori, penduduk asli Selandia Baru. Ikon lain yang tak boleh dilewatkan adalah Sky Tower (resmi dibuka tahun 1997). Dari puncak menara dengan ketinggian 328 meter ini kita bisa melepas pandangan sejauh 80 kilometer ke segala arah, tentunya bila udara sedang cerah.
Bagi mereka yang suka memacu adrenalin, dua kursi gantung listrik di depan menara siap melayang ke puncak gedung. Namun yang paling mengesankan adalah ketika saya diajak oleh Direktur Sky Tower, William Surya, mengunjungi lantai yang tidak terbuka untuk umum di saat aman.
Lantai ini merupakan tempat evakuasi bila terjadi gempa bumi atau badai dahsyat. Semua pengunjung dan karyawan akan berkumpul di sini menunggu tanda aman digaungkan. Lantai ini dilengkapi fasilitas pertolongan pertama, tempat tidur rumah sakit, area makan, dan tempat bermain anak-anak. Antisipasi terhadap bencana alam di Negeri Kiwi ini memang patut diacungi jempol.
‘Beredar’ di wilayah CBD Auckland serasa jalan-jalan di pusat kota Sidney atau Melbourne. Namun demikian, perasaan lengang mulai menyelinap saat saya berkendara ke wilayah luar kota. Kami menuju ke arah utara, untuk mengikuti Gardens & Art Tour di seputar bekas Ibu Kota Selandia Baru itu. Kami berhenti di sebuah desa yang menghasilkan madu lebah asli, di antaranya madu Manuka yang terkenal khasiatnya.
Baru sesudah itu kami ‘parkhopping’. Tampak puluhan pasangan senior lokal tengah berjalan-jalan, yang diakhiri makan siang di resto organik. Menyantap hidangan dengan konsep from farm to table tampaknya sedang ngetren di sana. Tampak pula para ibu muda yang membawa anak-anak mereka.
Favorit saya adalah menelusuri Taman Omaio yang lebih mirip hutan seluas 7 hektar, ditemani oleh sayup-sayup rekaman suara burung. Anak-anak mungkin lebih suka berlari-larian di Sculptureum, sebuah resto yang dilengkapi museum dan taman bermain dihiasi patung-patung binatang dan instalasi yang sesuai fantasi anak-anak.
Kembali ke kota, kami menempuh rute berbeda. Singgah di pabrik keramik serta warung kopi dan cokelat menjadi puncak kunjungan hari itu.