Di usia empat tahun, Nani sering menyaksikan adik dari ibu yang kerap dipukuli suaminya dengan sapu. “Itu selalu terekam,” ujarnya. Sedangkan ibunda dari Nani dikisahkannya hanya tamatan SD di Ketapang, Kalimantan Barat.
“Ibu tidak sempat melanjutkan sekolah, lari dari rumah sebab pamannya berusaha memperkosa dia. Ibu kemudian menikah di usia sangat muda,” Nani menceritakan masa kecilnya. Ia anak ke-3 dari 12 bersaudara, dua orang meninggal dunia di usia muda, termasuk kakaknya yang tertua.
“Kepada anak-anak, ibu selalu bilang bahwa kami harus sekolah yang tinggi. Harus bisa punya uang sendiri. Kata-kata beliau selalu memicu saya.”
Neneknya pun dikisahkan sebagai perempuan tangguh. “Nenek pejuang kehidupan sejati. Kakek saya bisa dikatakan patriarki, raja di rumah. Nenek yang kemudian mengerjakan semua, dari ambil air di sumur, mencari nafkah dengan membuat jamu, dan mengajar ngaji. Bagi saya dia sangat gagah,” kenang Nani.
Bagaimana dengan ayah? “Bukan orang yang ekspresif, dia berjarak dengan anak-anaknya tapi saya selalu merasakan bentuk kasih sayangnya.”
Nani kemudian mengingat kenangan masa kecil yang membuatnya tersenyum. “Waktu masih SD, di Pontianak dibuka kolam renang baru. Kita disewain becak, perjalanannya jauh sekali. Sepanjang jalan bapak naik motor mendampingi. Kami memang tidak pernah mengobrol akrab, ayah juga sering tugas luar kota. Tapi ia selalu menunjukkan kasih sayang pada anak-anaknya dengan caranya sendiri.”
Saat ayahnya pensiun dan terserang penyakit kanker, baru Nani merasa lebih dekat dengan ayah. “Ia meninggal di tahun 2000, saat rumah tangga saya bermasalah. Ia pergi tanpa pernah tahu bahwa saya bercerai dengan suami.”
Nani secara tegas menentang poligami. “Saya tidak ragu mengatakan bahwa poligami bukan ajaran Islam. Selalu mereka yang mengedepankan poligami mengatakan itu sunnah Rasul. Padahal poligami Rasulullah ada sebabnya,
perempuan-perempuan yang Dia harus lindungi untuk perjuangan Islam di masa itu. Bahkan Rasul menentang ketika putrinya Fatimah akan dipoligami.
“Di komunitas Pekka cukup banyak anak-anak korban poligami, dan mereka terlantar. Itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam.” Ia kemudian menambahkan, “Saya seorang muslimah. Dalam menjalani hidup, saya selalu berpedoman pada agama.”
Bersama teman-temannya, Nani mendirikan jaringan Alimat. “Anggotanya sebagian besar para ulama, ustazah yang sangat progresif.”
Alimat bekerja sama dengan Rahima dan Fahmina mengadakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KPUI), berdasar kesadaran bahwa sebutan ulama seakan-akan hanya untuk pria, kemudian mengesampingkan posisi dan peran ulama perempuan dalam kehidupan bernegara.
KPUI yang diadakan di Cirebon itu mengenalkan pada pesertanya bagaimana menggunakan metodologi tafsir, hadist, fiqh yang memiliki perspektif kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Memberi harapan akan terobosan penasfiran dan penentuan hukum Islam yang tidak menomorduakan perempuan, karena Islam sesungguhnya sangat memuliakan perempuan.
Selain Pekka dan Alimat, Nani aktif di beberapa jaringan Internasional seperti menjadi presiden bagi The Asia South Pacific Association for Basic and Adult Education, sebagai koordinator regional untuk Just Associates South East Asia, network global untuk aktivis dan penggerak komunitas pemberdayaan.
Ia hampir tak pernah di Jakarta. “Dalam satu bulan paling hanya 7 hari berkantor, saya lebih banyak mendampingi kelompok-kelompok Pekka dan kegiatan lainnya.”
Belasan tahun mengurusi Pekka, ia menyadari bahwa tantangan pendanaan sangat bergantung pada donor. Untuk itu ia harus selalu bisa merespons perubahan konteks secara global. Nani kini sedang mengembangkan aplikasi online yang bisa mempertemukan dan memobilisasi publik yang peduli dengan Pekka, juga mempersiapkan kaderisasi kepemimpinan lewat Akademi Paradigta.
Nani memang tidak pernah berhenti memperjuangkan hak perempuan, meski dirinya pun pernah mengalami pasang surut.
“Saya harus membesarkan tiga anak yang masih kecil dengan kondisi ekonomi dan status yang cukup sulit. Tapi saya bisa melewatinya karena saya bergaul dengan ibu-ibu yang memiliki status sama tapi hidupnya jauh lebih sulit.”
Perceraiannya memang diakui sebagai momen transformasi hidup yang luar biasa. “Dari kemarahan sampai penerimaan. Menjadi hikmah sehingga saya bisa berbuat lebih bagi perempuan lain.”
Foto: Agustina Selviana
Pengarah gaya: Ruben William
Busana: Toton
Artikel ini dimuat di Majalah Dewi edisi September 2017
Klik dewimagazine.com untuk artikel profil, gaya hidup, dan fashion lainnya