Jarum jam baru menunjukkan pukul 7 pagi. Nani Zulminarni telah berada di ruang kerjanya yang penuh tumpukan literatur.
Mengenakan blus berwarna cerah dipadu jilbab senada, penampilan Nani rapi sederhana, tuturnya halus. Saya menemuinya di kantor pusat Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Telah 16 tahun Nani menjalankan program yang ditujukan untuk memberdayakan para janda di tingkat akar rumput.
“Saya secara sadar merasa harus berjuang untuk kesetaraan dan keadilan bagi mereka ketika saya mengalami hal ini,” ujar Nani, yang membesarkan sendiri tiga anak laki-laki ketika ia memutuskan untuk berpisah karena suaminya memiliki perempuan lain.
Lalu, bagaimana tantangan dalam mengejar kesetaraan dan keadilan bagi perempuan?
“Ketika merintis Pekka, saya mengeluarkan istilah Perempuan Kepala Keluarga. Itu saja sudah dianggap melanggar nilai agama Islam. Karena interpretasinya, laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, tidak ada kata perempuan sebagai kepala keluarga,” cerita Nani.
“Waktu itu argumen saya adalah soal fakta dan lived reality. Karena di masyarakat, tidak semua laki-laki menjalankan kepemimpinannya. Ada yang menikah lalu pergi begitu saja, poligami yang tidak bertanggung jawab, dan lainnya.
“Perempuan kemudian terpaksa mengambil peran sebagai kepala keluarga. Jadi mau disebut apa kalau bukan kepala keluarga, sementara dia yang melakukan semuanya?"
Nani sendiri mulai mengadvokasi janda sejak 2001 ketika ia menjadi koordinator pendokumentasian dan pemberdayaan janda di wilayah konflik di Naggroe Aceh Darussalam.
Awalnya bernama Proyek Untuk Janda, di tangan Nani, program ini dikembangkannya menjadi lebih memberdayakan, diawali dengan mengganti nama menjadi Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga.
“Saya ingin orang melihat janda lebih pada kedudukan, peran dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, bukan sebagai perempuan malang yang hina dan tidak berdaya,” kata Nani yang tahun ini memasuki usia 55.
Ia pun bercerita mengenai kegiatannya mendampingi kelompok-kelompok Pekka di desa-desa.
“Agenda Pekka awalnya dari segi ekonomi, karena yang kami organisir adalah ibu-ibu kepala keluarga miskin. Sederhana sekali, bentuknya koperasi simpan pinjam.
“Lalu kami melihat bahwa lebih dari 60 persen anggota Pekka buta huruf, anak-anak mereka tidak memiliki akta kelahiran dan tidak sekolah.”
Pekka kemudian memfasilitasi program pendidikan dan keterampilan bagi para ibu, beasiswa bagi anak-anak mereka, juga program pemberdayaan hukum.
“Kami mendampingi mereka menyelesaikan persoalan hukum yang terkait dengan identitas, seperti akta cerai, akta kelahiran, dan kartu keluarga. Tujuannya agar mereka menjadi warga negara yang punya hak dan identitas yang tercatat.”
Di 2001 Pekka mulai mengembangkan program di empat provinsi di Indonesia; Aceh, Jawa Barat, NTT, dan Sulawesi Tenggara. Pekka terus mengembangkan wilayah kerjanya hingga pada akhir 2016 telah menjangkau 20 provinsi di
Indonesia, dengan lebih dari 1.500 organisasi perempuan kepala keluarga miskin di tingkat akar rumput.
“Sekarang ada 1.000 lebih kelompok, kami fasilitasi untuk membentuk organisasi otonom Serikat Pekka di Kabupaten yang berjaringan sendiri. Kini bahkan kami sudah punya Pekka Mart.
“Ada klinik layanan informasi dan konsultasi perlindungan sosial yang bekerja sama dengan Pemda, dan saat ini kami punya Akademi Paradigta. Sekolah bagi kader perempuan di desa agar bisa menjadi agen penggerak di tempat mereka,” cerita Nani bangga, sembari menambahkan bahwa telah ada beberapa perempuan anggota Pekka yang kini menjabat sebagai Kepala Desa.
Hasratnya begitu besar menceritakan program dan kegiatan Pekka. “Pekka adalah kehidupan saya,” ujar Nani mantap.
Bersama Pekka, Nani menerima banyak pengakuan di dalam negeri hingga ranah internasional. Fellowship dari Ashoka di 2007, mendapat penghargaan program terbaik dari Japanese Social Development Fund (JSDF) dan World Bank. Ia juga menerima penghargaan Saparinah Sadli pada 2010. Di 2014, secara berturut-turut ia mendapat penghargaan internasional untuk kepemimpinan.
Mulai dari Asia Pasific Lotus Leaderships Award dari The Asia Foundation dan Lotus Circle, Global Fairness Award di Amerika Serikat, juga Lencana Bakti Kesra Utama Menteri Koordinator Bidang Kesejateraan Rakyat Republik Indonesia, hingga “Kick Andy Hero” pada 2015 dan banyak penghargaan lainnya.
“Saya merasa sudah diskenariokan Tuhan untuk menjalani pekerjaan ini. Sejak kecil, saya selalu dikelilingi perempuan-perempuan yang menjadi contoh pembelajaran untuk berbagai hal.”
Nani Zulminarni bercerita tentang para perempuan tangguh di keluarganya di halaman selanjutnya