
Di suatu siang yang terik di Jakarta, saya bertemu dengan Najelaa Shihab.
Orang sering salah mengeja namanya, begitu katanya. Banyak yang menuliskan dengan dua E, padahal seharusnya dua A di akhir nama pertama.
“Saya sudah pasrah,” ujar Najelaa Shihab, tersenyum. Namun nama belakangnya rasanya tidak akan salah disebut oleh masyarakat Indonesia.
Ayahnya adalah cendikia muslim Quraish Shihab dan kakeknya adalah ulama dan guru besar dalam bidang tafsir, Prof. Abdurrahman Shihab. Kedua orang inilah yang mempengaruhi keterlibatan Najelaa dan dunia pendidikan.
Karier pertamanya adalah menjadi pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pada masa itu, ia mengaku sudah berpikir tentang masalah pendidikan.
“Saya melihat banyak sekali masalah yang ada di negeri ini disebabkan oleh pendidikan. Intoleransi, tingkat korupsi tinggi, lingkungan tidak terjaga, dan lainnya,” kata Najelaa.
Dengan demikian, dunia pendidikan harus diisi oleh orang-orang yang bekerja keras di bidang itu untuk mencegah masalah tersebut, daripada mencoba mengatasinya setelah menjadi masalah.
Itu juga yang menjadi dasar Najelaa mendalami ilmu psikologi karena bicara pendidikan berarti bicara proses interaksi antarmanusia yang berkualitas.
Najelaa menikah dan memiliki anak di usia muda. Pengalaman mencari sekolah terbaik untuk anaknya membuat Najelaa mendirikan Cikal pada 1999, saat usianya 23 tahun.
Ini bukan hanya sekolah, ujarnya, tapi komunitas pelajar sepanjang hayat karena ia yakin yang perlu belajar bukan hanya murid, tetapi juga guru dan para orang tua.
“Kita dididik dengan pola pendidikan masa lalu sementara pendidikan mestinya menyiapkan anak untuk masa depan,” begitu penjelasannya.
Prinsip Najelaa, belajar harus menyenangkan dan bermakna. “Saya khawatir jika bilangnya menyenangkan jadinya senang-senang saja tapi tidak belajar, tidak ada pemahaman,” ujarnya.
Bagaimana caranya menempatkan anak sebagai subjek, bukan sekadar anak kecil yang dicekoki, tapi cari tahu apa yang ia ingin mereka ketahui dan yang ingin ia kontribusikan. Sementara untuk membuatnya menjadi bermakna, harus ada tantangan.
“Perlu belajar yang sedikit susah tapi dia merasa bisa,” kata Najelaa.
Ya, momen seorang anak menjadi bisa dari tidak bisa karena belajar adalah momen yang sangat berharga. Selain tantangan, pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan.
“Ini yang banyak missing dari pengalaman belajar kita,” ujarnya; karena penekanannya hanya pada hafalan bukan proses berpikir kritis dan kreatif dan sebagainya.
Sayangnya, baru sedikit sekolah di Indonesia yang proses belajarnya menyenangkan dan bermakna.
Najelaa bercerita tentang komunitas lain yang ia dirikan