Gudang makanan di bawah tanah. Itu sebutan singkong pada zaman dulu saat negeri ini sering dilanda paceklik. Singkong dianggap pangan penyelamat, namun rakyat pemakan singkong dianggap rakyat miskin. Gaplek dan thiwul merupakan dua simbol kemiskinan di daerah rawan pangan. Mudah-mudahan anjuran pemerintah melalui Surat Edaran no.10 tahun 2014 agar semua instansi pemerintah menyediakan pangan lokal seperti singkong bisa menghapus paradigma tersebut.
Sejarahnya, singkong bukan tanaman asli Indonesia, tetapi dari Amerika Selatan. Bangsa Portugis membawanya ke Maluku pada abad ke-16. Dari Timur, singkong menyebar ke Pulau Jawa pada akhir abad ke-19. Sampai sejauh itu, singkong masih belum populer. Baru di abad ke-20 singkong dikenal luas.
“Sebetulnya Indonesia punya lahan yang sangat luas untuk menanam singkong. Namun petani lebih senang menanam tebu, jagung, dan padi. Singkong kurang populer,” ujar Annisa Pratiwi, produsen mocaf dengan brand Ladang Lima. Untuk mendukung usahanya membuat produk mocaf, Annisa bermitra dengan petani singkong. Dengan memiliki mitra tani, Annisa mampu memroduksi 50-100 ton mocaf tiap bulan. “Sebesar 2-3 ton untuk memenuhi pasar lokal, selebihnya diekspor ke Singapura, Hong Kong, London, dan California, Amerika,” katanya.
Mengganti terigu dengan mocaf memang belum bisa sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat kita. Masih perlu usaha keras untuk mengedukasi masyarakat bahwa kita punya bahan lokal yang sangat dekat, tanpa harus impor, sekaligus mengurangi risiko alergi.
“Banyak orang tua yang anaknya alergi terhadap terigu, atau orang tua yang punya anak berkebutuhan khusus, lebih memilih mocaf,” kata Annisa, lulusan FISIP Universitas Airlangga. Mocaf produksinya dilepas dengan harga Rp 25.000 ribu/kg yang hanya tersedia di retail market. Harga yang cukup mahal.