Akhirnya saya menyerah juga pada godaan untuk ikut berlayar dengan kapal pesiar milik teman saya, Simon Davis.
Sudah beberapa kali dia menawarkan, tapi saya belum berani menerimanya. Melewatkan 13 malam hanya di atas kapal, bagaimana kalau saya bosan? Saya juga takut mabuk laut. Tapi, kali ini, mana sanggup saya menolak ajakan Simon untuk menyusuri pesisir Papua Barat yang terkenal jelita?
Kapal layar jenis catamaran bernama Skimpy Bikini menyambut kedatangan saya di pelabuhan Kota Sorong—di peta Papua letaknya di bagian atas kepala burung. Selain saya dan Simon, ada Elise Gaebler, yang sehari-hari berprofesi sebagai perawat di Perth, Australia, serta seorang helper bernama James, pemuda asli Papua. Setelah menginap semalam di Sorong untuk berbelanja cadangan makanan (terutama sayuran dan buah) dan mengurus izin berlayar ke Kepulauan Raja Ampat, pada suatu sore Skimpy Bikini angkat jangkar dan memulai perjalanan ke arah selatan, menyusuri leher burung. I am sailing… I am sailing….
Lukisan di bukit karang
Ternyata semua kekhawatiran saya tidak terbukti. Saya nyaris tidak mengalami mabuk laut. Saya juga tak sempat bosan, karena ada banyak kegiatan menarik yang bisa dilakukan di atas kapal. Kalau di siang atau sore hari merasa gerah, kami tinggal nyemplung ke laut untuk snorkeling atau diving. Bila ingin makan ikan segar, kami tinggal memancing. Tuna, kerapu, atau tenggiri sebesar betis dengan mudah kami dapatkan. Kami juga sepakat bahwa makanan selama di kapal harus enak, segar, dan menggugah selera. Untuk itu, kami bergantian bertugas memasak. Bahkan roti dan pizza pun kami membuat sendiri adonannya!
Setelah semalaman berlayar, kami disambut pagi yang mendung, disusul hujan. Meski awalnya agak kecewa karena tak bisa terjun ke laut, suasana hati kami kembali ceria dengan kehadiran pasukan lumba-lumba yang berlompatan dengan riang gembira mengiringi kapal kami. Jumlahnya mencapai ratusan ekor! Bayangkan indahnya...
Menjelang senja, kami melepas jangkar di Pulau Daponlol, pulau kecil di Kepulauan Misool, bagian dari Kepulauan Raja Ampat. Mudah-mudahan besok pagi hari cerah, sehingga kami bisa menikmati keindahan pemandangan bawah laut. Nyatanya, keesokan paginya kami kembali disambut hujan. Karena tak bisa menyelam, kami memutuskan untuk menyusuri gua. Dengan menggunakan perahu motor kecil dari karet (dingy boat), kami memutari teluk kecil untuk mencapai perbukitan di pinggir pantai. Ada dua gua yang ingin kami jelajahi, yaitu Gua Keramat (di dalamnya ada makam) dan Gua Tengkorak. Untuk mencapainya, kami harus memanjat tebing-tebing yang nyaris tegak lurus.
Tapi rasa lelah itu terbayar lunas begitu kami tiba di Gua Keramat yang indah dan megah. Apalagi ketika menemukan danau air asin yang superjernih di ujungnya. Setelah berenang-renang sebentar, kami melanjutkan perjalanan ke Gua Tengkorak. Ternyata interior Gua Tengkorak sangat gelap. Dengan bantuan senter, kami bisa melihat sebuah danau di dalam gua. Simon menantang saya dan Elise untuk berenang di danau yang gelap gulita itu. Kendati takut setengah mati—membayangkan ada makhluk misterius yang akan menarik kaki kami ke dasar danau—kami pun menguatkan hati untuk menjawab tantangan Simon!
Dalam perjalanan pulang, kami melewati dindingdinding karang. Kami pun berdecak kagum. Di ketinggian permukaan dinding karang, terdapat lukisan-lukisan abstrak berwarna merah kecokelatan. Itu dia petroglyphs, prehistoric rock painting hasil karya para leluhur penduduk asli Papua!