Saya selalu menganggap Mei adalah bulan yang tepat untuk mengunjungi sebuah negara empat musim. Tapi hal itu tidak berlaku bagi negara-negara di wilayah Asia Tengah yang letaknya di tengah-tengah benua. Udara panas dan kering menyambut saya saat menjejakkan kaki di Tashkent, ibu kota Republik Uzbekistan. Negara ini adalah salah satu dari dua negara di dunia yang bersifat doubly landlocked atau lokasinya terkunci ganda, selain Liechtenstein. Artinya, untuk mencapai laut, penduduknya harus melewati setidaknya dua negara lain. Keunikan lain, negara ini dikelilingi oleh lima negara yang namanya semua berakhiran “-stan”, yaitu: Afghanistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Turkmenistan. Namun, masih banyak keunikan lain yang saya temukan di Uzbekistan.
Ragam jejak masa lalu
Selama hampir 70 tahun menjadi bagian dari Uni Soviet yang berhaluan komunis, Uzbekistan merupakan negara tertutup. Setelah Uni Soviet bubar di tahun 1991, baru pada pertengahan tahun 2000-an pariwisata negara ini mulai membuka diri bagi dunia luar. Ada empat kota yang saya kunjungi selama dua minggu di Uzbekistan, yaitu Tashkent, Samarkand, Bukhara, dan Khiva. Semuanya adalah kota tua yang sudah berusia ratusan bahkan ribuan tahun, dan masing-masing menyimpan jejak-jejak perabadan masa lalu yang beraneka ragam.
Dari catatan sejarah, yang pertama kali menghuni negeri ini adalah bangsa Persia nomaden yang kemudian melahirkan kota-kota seperti Bukhara, Samarkand, dan Tashkent. Memasuki abad ke-8, pengaruh Islam mulai memasuki wilayah ini, yang disebarkan oleh para pedagang dari Arab, Iran, dan Turki. Uniknya, meskipun pengaruh Iran cukup kuat, mayoritas penduduk Uzbekistan menganut Islam yang moderat dan tidak berafiliasi pada mashab apa pun (misalnya Sunni atau Syiah).
Ketika Mongolia menginvasi Asia Tengah pada awal abad ke-13, bangsa Mongol sempat menguasai wilayah Uzbeksitan. Kekuasaan Mongolia baru bisa diruntuhkan setelah terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Amir Temur (disebut juga Amir Timur atau Tamerlane). Amir Temur kemudian dinobatkan sebagai pahlawan pemersatu Uzbekistan. Pada abad ke-13, Uzbekistan juga wilayah penting yang dilewati Jalur Sutra dari Asia (Tiongkok) ke Eropa. Di Kota Bukhara, masih terlihat sejumlah caravanserais atau tempattempat peristirahatan di bekas-bekas jalur karavan yang dulu dilalui oleh para pedagang sutra lintas negara. Pada abad ke-19, Kekaisaran Rusia mulai menginvasi wilayah Asia Tengah, dan Uzbekistan pun dibanjiri oleh pendatang dari Rusia. Pada tahun 1920, wilayah Asia Tengah praktis dikuasai Rusia, dan setelah terjadi Revolusi Bolshevik di Rusia, Uzbekistan resmi menjadi bagian dari Uni Soviet dengan nama Republik Sosialis Uzbek Soviet pada 27 Oktober 1924. Baru pada tanggal 31 August 1991, Uzbekistan resmi lepas dari Uni Soviet, dan sehari setelahnya, 1 September, ditetapkan sebagai Hari Kemerdekaan Republik Uzbekistan.
Namun, meskipun sudah merdeka, sisa-sisa pendudukan Uni Soviet masih kental terasa di kalangan penduduk Uzbekistan. Meskipun bahasa resminya adalah Uzbek, sebagian besar penduduk masih fasih berbahasa Rusia. Pemerintahan komunis Uni Soviet yang represif sepertinya juga masih menghantui mereka. Wisatawan masih dilarang memotret tempat-tempat pelayanan publik seperti bandara dan stasiun kereta. Pemandu wisata saya masih bicara hati-hati, berbisik-bisik bila diminta menceritakan sejarah Uzbeksitan, terutama pada saat masih di bawah rezim Uni Soviet. Persis seperti orang Indonesia ketika baru saja terbebas dari pemerintahan Orde Baru.
[Baca juga tentang jelajah situs megalitikum tertua di dunia]
Imam Bukhari dan Soekarno
Serba besar dan megah. Itulah kesan pertama saya tentang Uzbekistan. Jalanannya lebar-lebar dan bangunannya besar-besar. Juga sangat bersih. Dari Tashkent, kami beranjak menuju Samarkand. Bisa dibilang ini adalah kota santri dan kota kaum intelektual. Di sini terdapat banyak madrasah yang sudah berusia ratusan tahun. Seperti juga gedunggedung tua lain di Uzbekistan, dinding-dindingnya dilapisi oleh keramik warna-warni yang indah, bahkan sampai ke langit-langit kubahnya. Menurut pemandu wisata kami, di Uzbekistan tak sembarang orang bisa menjadi ustaz atau guru agama. Hanya lulusan madrasah yang boleh menjadi guru agama.
Kami juga diajak ke sebuah tempat yang wajib dikunjungi oleh wisatawan muslim, yaitu makam Imam Bukhari, salah satu ahli hadits Nabi Muhammad SAW. Yang istimewa, membicarakan makam Imam Bukhari tak bisa terlepas dari nama Soekarno, presiden pertama negara kita.
Setelah sang imam wafat, selama ratusan tahun makamnya tak terlacak, meskipun diduga kuat berada di Samarkand. Pada tahun 1961, Soekarno diundang ke Moskow oleh pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Khrushchev. Namun Soekarno memberi syarat bahwa dia hanya bersedia datang ke Moskow bila Khrushchev berhasil menemukan makam Imam Bukhari dan membangunkan makam secara layak. Di masa itu, Uni Soviet memang sedang gencar mendekati Indonesia agar tidak berpihak ke Amerika Serikat. Baru setelah makam itu berhasil ditemukan, Soekarno datang ke Moskow. Tak heran bila penduduk Samarkand sangat berterima kasih kepada Soekarno.
Gadis cantik dan gigi emas
Tujuan kami selanjutnya adalah Bukhara, kota kuno yang dijuluki city museum yang dulunya merupakan
ibu kota Keemiran (Emirate) Bukhara. Di sini terdapat sekitar 140 monumen bersejarah dengan seni arsitektur yang tinggi, sehingga ditetapkan sebagai salah satu World Heritage Site oleh UNESCO.
The Ark of Bukhara atau Bukhara Fortress adalah salah satu bangunan yang wajib dikunjungi. Didirikan pada abad ke-5 Masehi, bangunan ini adalah benteng yang melindungi istana Emir penguasa Bukhara. Beberapa makam (mausoleum) para penguasa Bukhara juga berdiri dengan megah di wilayah ini, antara lain makam Ismail Samani, pendiri Dinasti Samanid dari Persia yang pernah berkuasa di Bukhara.
Khiva atau Xiva adalah tujuan kami selanjutnya. Menurut data arkeologis, kota ini berdiri pada awal era Masehi. Di sini kita antara lain dapat mengunjungi Walls of Itchan Kala, sebuah dinding kota kuno yang masih terlihat kokoh. Lokasinya yang di tengah padang pasir membuat pemandangan kota Khiva mirip dengan kota-kota tua di Semenanjung Arab.
Bagi orang Indonesia, Uzbekistan terkenal akan gadis-gadisnya yang cantik-cantik—banyak yang kemudian menjadi model di Indonesia. Ternyata gadisgadis muda Uzbekistan memang cantik—dengan wajah paduan antara Asia dan Eropa yang elok. Sayangnya, ini kata pemandu saya, kecantikan mereka biasanya hanya bertahan sampai mereka menikah dan melahirkan. Setelah itu, biasanya badan mereka menjadi melar dan wajah mereka menua dengan cepat karena tidak dirawat dengan baik. Maklum, banyak dari mereka harus bekerja keras di ladang kapas yang menjadi salah satu penunjang ekonomi negeri ini.
Yang tak kalah unik, penanda status sosial dan kekayaan seseorang di Uzbekistan terlihat dari gigi emas yang menghiasi senyum mereka—pria maupun wanita. Semakin banyak gigi emas bertengger di gusi mereka, semakin tinggi status sosial mereka.
Seperti diceritakan kembali pada Tina Savitri.
Foto: Nanny Budiman