Meskipun hobi traveling, jujur saja ini adalah pengalaman pertama saya berlibur di atas kapal pesiar.
Wajar saja kalau saya jadi agak keder. Apa saja yang bisa saya lakukan untuk menghabiskan 9 hari 8 malam di tengah laut? Bagaimana kalau saya bosan? Apakah ada wi-fi di kapal? Bagaimana kalau saya mabuk laut?
Saya rasa itu adalah pertanyaan orang awam yang tak pernah naik kapal pesiar sebelumnya. Bagi orang Eropa, Amerika, atau Australia, berlibur di kapal pesiar memang sudah jadi gaya hidup bahkan budaya sejak dulu.
Tapi tidak demikian bagi kebanyakan orang Indonesia. Apalagi ada anggapan bahwa berlibur di atas kapal pesiar pastinya sangat mahal. Kan, sayang-sayang kalau kita tidak sungguh-sungguh menikmatinya.
Namun semua kekhawatiran itu buyar seketika saat saya, mewakili PESONA, menjejakkan kaki di kapal pesiar Diamond Princess, untuk mencicipi liburan di atas kapal mewah atas undangan Singapore Tourism Board (STB).
Apalagi saya mendapat teman sekamar yang superseru, yaitu Amelia Masniari, penulis buku traveling yang lebih dikenal dengan nama pena Miss Jinjing.
Dengan panjang 290 meter dan lebar sekitar 37 meter, serta dapat mengangkut 2.706 orang, kapal pesiar Diamond Princess ibarat paus raksasa di tengah laut.
Memiliki 18 lantai (dek) dengan banyak lift, kapal ini memang didesain untuk dinikmati setiap sudutnya. Dengan bobot sebesar itu, kemungkinan mabuk laut juga sangat kecil. Saat diterjang ombak besar sekalipun, kapal hanya terasa sedikit shaky.
Meski kapal belum berangkat, penumpang sudah bisa memasuki kapal. Saya kira, saya akan mendapatkan kamar tidur yang sempit dan serba terbatas. Tapi yang saya temukan adalah kamar twin bed dengan fasilitas lengkap standar hotel berbintang. Yang istimewa, dari jendela kami bisa langsung melihat lautan lepas.
Pada sorenya saya dan Miss Jinjing keluar kamar, kali ini menuju Sky Deck, lantai teratas kapal yang terbuka, untuk menunggu detik-detik kapal berangkat sambil menikmati pemandangan matahari tenggelam. Ternyata hampir semua penumpang kapal juga berkumpul di tempat yang sama, untuk tujuan sama pula.
Tepat pukul 6 sore, klakson kapal dibunyikan, diikuti tepuk tangan meriah semua penumpang. Perlahan kapal bergerak meninggalkan Marina Bay Cruise Center, Singapura.
Kami pun terpana melihat pemandangan di belakang kami—gedung-gedung pencakar langit yang mulai benderang di kawasan Marina Bay, termasuk Marina Bay Sand yang mirip perahu dan Singapore Fyler. Indah sekali.
Seusai makan malam, Shirlene Ng, PR and Marketing Manager Princess Cruise, berpesan bahwa esok malam kami diharapkan mengenakan gaun malam dan berdandan cantik. “Pokoknya, dressed to kill,” katanya, penuh rahasia. Oh, siapa takut!
Keesokan harinya seharian kami hanya tinggal di kapal. Namun kekhawatiran saya bakal bosan tidak berdasar. Setiap sore kami dikirimi jadwal harian selama di kapal untuk keesokan harinya.
Ada banyak aktivitas yang bisa diikuti oleh setiap penumpang sesuai minat masing-masing (dan gratis), dari pagi hingga tengah malam.
Sebut saja berolahraga di gym, mengikuti kelas line dance, zumba, Bollywood dance, main bridge, poker, atau mahyong bareng, main basket, ping-pong, golf (ada lapangan golf mini juga), berenang dan berjemur, tiduran di kursi malas sambil baca buku di dek kapal, belanja, dan banyak lagi. Saya dan Miss Jinjing memutuskan untuk mengikuti kelas wine tasting (tapi yang ini harus bayar 25 dolar AS).
Menjelang jam makan malam, para tamu berkumpul di Atrium, ruang utama di kapal. Semuanya berdandan rapi. Yang wanita mengenakan gaun malam yang anggun dan aksen bling-bling, yang pria setelan jas dan dasi kupu-kupu. Sesuai tradisi, sebagai tanda dimulainya cruise, diadakan seremoni wine pouring. Kapten kapal akan menuangkan sampanye ke gelas-gelas yang disusun bertingkat-tingkat.
Petang dan malam hari di atas kapal dapat dinikmati dengan banyak cara. Bisa mendengarkan live music di beberapa lounge, menonton pertunjukan musik atau kabaret di Princess Theater, berkaraoke, (menonton orang) main judi di kasino, dan lainnya.
Bagi mereka yang tidak bisa hidup tanpa wi-fi dan merasa harus meng-update status setiap saat di media sosial, tidak perlu khawatir. Wi-fi bekal dari Indonesia kemungkinan besar tidak bisa digunakan selama di kapal, karena di tengah laut biasanya tidak ada sinyal. Tapi kita bisa membeli paket wi-fi khusus di kapal yang berbasis satelit internasional, meskipun harganya lumayan mahal.
Namun, tak ada salahnya sesekali membebaskan diri dari gadget. Ingat, Anda, kan, sedang berlibur! Lepaskan sejenak urusan pekerjaan, gaul, dan ‘kewajiban’ untuk narsis dengan mengunggah foto-foto secara real time.
Saya perhatikan, penumpang kapal, yang umumnya dari Eropa, Amerika, dan Australia, tidak terlalu terikat dengan ponsel atau tablet mereka—termasuk yang muda-muda, bahkan yang remaja.
Saya sendiri memutuskan untuk hidup tanpa wi-fi selama di kapal. Dan seketika saya merasakan hidup saya melambat, menjadi lebih santai dan tenang, dan terbebas dari rasa kemrungsung yang biasa saya rasakan kalau sedang di kantor.