Dari yang awalnya hanya memproduksi sepatu bermerek Gianinni, kini ada sepatu-sepatu wanita di bawah brand Marista Santividya dan Shunique di Shoe ETC.
Melihat keduanya berdampingan seperti melihat pantulan cermin. Cara tersenyum mereka sangat mirip. Pembawaan mereka berdua juga sangat ramah. Di butik Shoe ETC di daerah Kemang, Jakarta Selatan, obrolan kami sesekali diwarnai gelak tawa. Mereka berdua adalah pasangan ibu dan anak, Sri Hanggarianti dan Marista Santividya.
Sedari kecil, Tata—panggilan akrab Marista Santividya—sudah suka melukis. Waktu menjalani sekolah dasar di Australia, Tata pernah menjuarai lomba gambar. “Waktu itu dia menggambar kucing. Kata Tata saat itu, ‘Ma itu sebenarnya aku salah, akhirnya aku pulas-pulas lagi.’ Tapi nggak taunya jadi juara… ha ha ha,” cerita Yanti, panggilan akrab Sri Hanggarianti.
Kegemaran Tata berkarya sejak kecil terus berkembang hingga kini. Dari nenek di pihak ibu—Sri Mulyaningsih, Tata mewarisi pabrik sepatu yang sudah ada sejak tahun 90-an. Awalnya, pabrik itu berada di Bandung. Sejak tahun 2004, pabrik dipindahkan ke daerah Kebagusan, Jakarta Selatan, karena mulai dikelola oleh Yanti.
Dari zaman neneknya hingga sang ibu, pabrik itu hanya menghasilkan satu jenis sepatu, yaitu sepatu pesanan khusus untuk seragam dengan brand Gianinni. Namun di tangan Tata, produksinya berkembang pesat. Sejak 2011, Tata mulai mendesain dan memproduksi sepatu-sepatu wanita di bawah brand Marista Santividya dan Shunique. Sejak Tata memimpin perusahaan, pabrik ini juga menangani wholesale.
Saat kecil Tata, tidak bercita-cita berbisnis sepatu. Jurusan kuliah yang ia pilih justru jauh dari bidang desain, yaitu jurusan Akuntansi di Universitas Trisakti, Jakarta. Minatnya tumbuh secara alami. Kedua orang tua Tata bukan tipe yang memaksakan cita-cita pada anak. Yanti juga tak pernah sengaja mengajak Tata untuk membantu pembuatan sepatu di pabrik.
Baru saat menjelang kelulusan sarjana, minat Tata mulai timbul. Ia mulai suka mampir ke pabrik. Pada saat itu Yanti mengajari Tata membuat pola. Agar lebih paham soal desain sepatu, Tata khusus menimba ilmu di Italia. Pertama di Istituto Eurepeo di Design selama setahun di Roma, kemudian ia melanjutkan belajar lagi cara memproduksi sepatu di Arsutoria di Milan.
Tata mulai membantu Yanti mendesain dan membuat pola tahun 2008. Yanti pun melepas bisnis itu sepenuhnya kepada Tata di tahun 2015. “Saya merasa Marista sudah lebih pintar dari saya. Dia lebih muda dan lebih bersemangat. Ide-ide dari Marista juga jauh lebih banyak,” ujar Yanti.
Melanjutkan brand Gianinni, Tata merasa tertantang ketika harus membuat sepatu untuk seragam. Tak seperti sepatu pesta yang jarang dipakai, sebaliknya, sepatu seragam dipakai setiap hari. Ia mesti menciptakan desain yang nyaman dipakai dan tahan lama. Saat ini klien dari Gianinni datang dari hotel maupun airlines. Berbeda tempat, maka berbeda pula desain dan bahan sepatunya. Misalnya, sepatu untuk karyawan hotel di daerah pantai. “Di pantai, kan, udara laut. Kalau komponennya salah, akan lebih cepat rusak. Lebih baik dijahit daripada dilem,” jelas Tata.
Terobosan demi terobosan dibuat Tata. Pada tahun 2011, Tata berkolaborasi dengan para fashion designer di IPMI Trend Show. Ia membuat 60 pasang sepatu dengan desain yang berbeda sesuai tema baju dari si desainer. Belum lama ini ajakan berkolaborasi bersama label Toton dan Major Minor juga ia jalani. Berkat jejaring perkenalan yang bertambah, pesanan sepatu juga semakin mengalir. “Saya mendapat banyak relasi baru untuk Gianinni,” ujar Tata.
[Baca juga kisah ibu-anak Anne Avantie dan Intan Avantie]
Foto: Hermawan
Pengarah gaya: Erin Metasari
Busana: Wanita
Tata rias dan rambut: Ary Alba