Awal Oktober lalu, Edwin’s Gallery membuka kembali kelas kreatif clay sculpturing bersama Dolorosa Sinaga dan timnya. Ada sekitar 30 peserta dalam kelas siang itu. Meja-meja panjang dari kayu kokoh sudah disiapkan di sepanjang koridor galeri yang teduh, juga di dalam ruangan yang hangat dengan pencahayaan khas ruang pamer.
Peserta kegiatan ini cukup beragam. Banyak orang dewasa, tapi ada juga remaja dan anak-anak, pria dan wanita, yang tak mau kalah pamer ide. Ada yang sehari-hari bekerja kantoran, ada juga pekerja lepas di industri kreatif. Saya memilih duduk di dalam ruang galeri dan mulai memikirkan bentuk yang akan saya buat dari gumpalan tanah liat di hadapan saya.
“Hari ini kita membuat standing figure ya. Bisa berupa manusia, binatang, atau apa saja, tapi yang mudah memang membentuk manusia,” salah seorang trainer menjelaskan. Tiga orang trainer dari tim Dolorosa lalu menghampiri saya dan beberapa peserta lain, memberikan papan dengan tiang logam untuk alas mematung. Sementara saya masih berpikir detail wujud yang akan saya bentuk, pria muda di sebelah kanan saya sudah terlihat antusias dengan calon karyanya. Katanya, ia akan membuat miniatur dirinya dengan tanah liat itu.
Tak lama berselang, perbincangan antar sesama peserta mulai berkurang. Kami mulai sibuk membiarkan tangan-tangan kami membentuk wujud dari gundukan tanah liat itu. Sesekali, Dolorosa sendiri berkeliling ruangan dan memberi saran untuk figur-figur ciptaan kami. Tak jarang ia dan timnya mengoreksi dengan luwes ketika proporsi figur bentukan kami terasa kurang pas. “Kalau memanah, sebaiknya begini posisi tangan dan badannya,” Dolorosa mencontohkan, memeragakan gerakan orang yang sedang memanah kepada tiga peserta muda yang duduk di depan saya.
Sekitar pukul 3 siang, kami istirahat sejenak. Menyesap teh dan menikmati light bites yang disediakan sambil berbincang ringan di halaman galeri yang asri. Usai rehat, saya sempat mendatangi meja Dahlia Sardjono yang memang senang ‘bermain tanah liat’ dan sudah beberapa kali ikut kelas-kelas sejenis. “Daripada diam di rumah atau ke mal, mengerjakan ini rasanya lebih tenang,” tuturnya sembari menekan-nekan tanah liatnya, mencoba menggabungkan bentuk sepatu dan mobil Volkswagen klasik. Saya juga sempat berbincang dengan Hani Kusuma, mahasiswi FIB Universitas Indonesia, yang baru pertama kali ikut kelas ini. “Coba-coba saja dulu, toh tak ada ruginya belajar hal baru,” ungkapnya santai.
Edwin Rahardjo, pemilik galeri yang juga kepala Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia, mengaku harapannya cukup sederhana terkait kegiatan ini. Tak muluk-muluk ingin mencari bakat seniman baru, ia hanya ingin ada kegiatan edukatif yang bisa mewadahi berbagai kreasi. “Seni itu luas, tapi yang paling populer kan bentuknya lukisan atau patung. Jadi cobalah masyarakat mengenal dari situ dulu,” ujarnya menutup perjumpaan kami petang hari itu.