Sebagai makhluk hidup, manusia perlu bersentuhan dengan alam. Kalau semakin sulit mencari secara natural, mengapa tak menciptakannya sendiri?
“Rumah saya adalah rumah ramah manusia,” kata Ossiatzki, sang pemilik rumah. Di saat banyak orang membuat klaim bahwa rumah mereka ramah lingkungan, Oki—panggilan akrabnya—justru punya predikat berbeda untuk rumahnya. Jika Anda melihat kediaman pasangan Oki dan Caki ini, mungkin bukan kata ramah manusia yang terpikir. Rumah ini berdiri kokoh dengan sudut dan garis tegas. Sementara saya menerjemahkannya sebagai rumah yang berlekuk, tanpa sudut, seperti tubuh manusia.
Bangunan rumah adalah kepanjangan dari karakter para penghuni rumah. Karena itu, rumah pun punya gaya seperti juga orang-orang yang tinggal di dalamnya. Untuk Oki yang berprofesi sebagai industrial designer ini, rumah adalah tempat ia bebas menjadi diri sendiri, tanpa pretensi atau ekspektasi. Di sini, ia melepaskan perisai yang ia kenakan untuk melindungi diri di luar sana. Dengan pemikiran tersebut, ia berpedoman rumah harus bisa menghibur para penghuninya sehingga menjadi ramah penghuni atau ramah manusia.
Rumah ini adalah salah satu dari tiga rumah yang ada di dalam satu cluster. Biasanya, perumahan dengan sistem cluster—kumpulan bangunan tanpa pagar di perumahan dengan satu gerbang utama sebagai alat kontrol keamanan—memiliki model yang sama dan terdiri ataas sedikitnya enam rumah. Namun cluster hasil rancangan Oki lain dari yang lain.
Hampir saja rumah ini terlewat oleh saya ketika akan mengunjunginya. Pasalnya, dari jalan utama, Anda hanya akan menemui gerbangnya, sementara bangunan rumah tak terlihat. Ada dua bangunan kantor mungil yang sangat stylish ketika memasuki cluster ini. Maklum saja, ini kantor seorang desainer. Ossiatzki Design, begitu tulisannya. Bangunan kedua yang terlihat seperti rumah di Jepang adalah kantor Saroengan, brand fashion yang sedang digarap Caki.
Sebutan ramah manusia tidak hanya mewakili pernak-pernik di dalam rumah yang disukai para penghuninya, tetapi juga menjadi visualisasi keserasian hubungan manusia dengan alam. Ada tiga hal utama yang harus diperhatikan untuk menjadikan rumah ini sebagai rumah yang ramah manusia. Pertama, arah matahari. “Itu yang akan kita temui setiap hari,” ujar sang tuan rumah.
Ketika saya duduk di sekolah dasar, jika ada tugas untuk membuat gambar rumah, saya dan sebagian besar teman-teman akan membuat gambar yang kurang-lebih sama. Rumah tampak depan dengan pintu di tengah dan satu jendela di masing-masing sisi. Awalnya, saya heran melihat rumah ini. Dari depan, tidak tampak ada pintu masuk atau pun jendela. Oki mengantar saya masuk ke rumahnya, dan barulah saya melihat satu bidang dinding serta tiga pintu dari kaca yang menghadap halaman belakang.
Rumah ini sengaja didesain untuk memungkinkan matahari pagi masuk dengan leluasa. Bidang terbuka adalah yang menghadap timur. Dari pukul 07.00 hingga 08.30, sinar matahari akan langsung masuk menyinari meja makan. Sambil menyantap sarapan, seluruh keluarga akan mandi sinar matahari pagi yang baik untuk kesehatan.
Ramah manusia yang kedua adalah soal sirkulasi udara. Rumah dengan luas bangunan 250 meter persegi ini tidak dirancang untuk memakai pendingin ruangan. Pintu-pintunya sengaja dibiarkan terbuka sepanjang hari. Walau begitu, tak semua rumah yang dibiarkan terbuka dapat terasa sejuk seperti ini. Kuncinya, kita harus paham arah angin berembus. Angin itu jalannya seperti huruf L, begitu Oki mengibaratkan. Jika posisi pintu atau jendela yang terbuka adalah lurus, depan dan belakang, angin tidak dapat secara leluasa bergerak. Akhirnya, kesejukan yang kita harapkan dengan membuka pintu dan jendela tidak akan terjadi.
Yang ketiga adalah tanaman yang ada di sekitar rumah. “Dulu, lahan ini bekas pembuangan sampah. Sangat tandus,” Oki bercerita. Perlu waktu yang cukup lama untuk membuatnya siap untuk ditanami. Kerja keras Oki berbuah manis. Kini area rumahnya sudah ‘hijau’. Itu juga yang membuatnya tidak mau memasang teralis atau tirai di jendela dan pintu rumah. “Kita punya taman yang bagus itu buat siapa? Kalau ditutup, bagaimana bisa dinikmati?”
Jika tadi saya katakan rumah ini memiliki garis tegas, hal itu tidak berlaku dalam sistem penanaman pohon. Pepohonan di sini tidak tumbuh dalam garis lurus, namun justru menghadirkan simetri tersendiri. Jenis pohon yang tumbuh di sini pun diperhatikan. Oki memilih menanam pohon bunga yang menghadirkan warna-warna vibrant dan bau semerbak ketika mereka merekah. “Seperti aromaterapi alami,” ujarnya.
Kendati terlihat begitu terbuka, rumah ini tetap memiliki misteri yang menarik untuk diulik. “Rumah ini memiliki labirin,” kata Oki. Ada dua pintu untuk memasuki rumah ini. Terlihat hampir bersebelahan, namun setelah masuk ke rumah untuk mencapai pintu satu lagi, kita harus memutari rumah, mengitari tangga yang ada di tengah rumah.
Tangga itu pun mengundang pertanyaan—terutama karena tidak memiliki railing sehingga tampak tidak aman, apalagi jika ada anak-anak. Nyatanya, Oki dan Caki tidak menghadapi masalah tersebut. Aktivitas keluarga memang terfokus di lantai bawah. Ada satu kamar di lantai atas yang baru-baru ini saja dipakai oleh anak tertua Oki dan Caki yang sudah beranjak remaja.
Sebuah rumah, menurut Oki, juga perlu memiliki hiding space. Meski 60% area rumah ini adalah ruang terbuka, tetap ada area-area tersembunyi. Salah satunya adalah area di bawah tangga tempat Oki menyimpan brankas dan koper, dua hal yang diperlukan tapi tak selalu perlu terlihat.
Mungkin hal terakhir ini juga termasuk indikator rumah yang ramah manusia. Walau terbuka, rumah ini tidak sesederhana kelihatannya, karena ada labirin yang perlu dilalui untuk sampai ke tempat yang lain, serta tempat-tempat tersembunyi yang mengundang rasa penasaran mereka yang berkunjung. Persis seperti benak manusia yang penuh misteri.
[Lihat juga inspirasi rumah bergaya Skandinavia]
Foto: Previan F. Pangalila
Pengarah visual: Erin Metasari