Padahal, di tahun itu, 1886, Pulau Nias masih merupakan wilayah liar, misterius, dan sangat ditakuti, bahkan oleh para serdadu Belanda sekalipun. Para penduduknya masih senang berperang dan hobi mengoleksi kepala musuhnya!
Hasil ekspedisi menarik dari Modigliani ini baru-baru ini ditulis ulang dan dijadikan buku oleh Vanni Puccioni. Puccioni adalah cucu dari direktur Museum Nasional Antropologi dan Etnografi di Florence, Italia, yang menyimpan hasil ekspedisi Modigliani di Pulau Nias pada tahun 1886.
Puccini juga melakukan napak tilas perjalanan Modigliani ke Nias, 125 tahun setelahnya, sebagai pembanding. Versi Bahasa Indonesia dari buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul "Tanah Para Pndekar, Petualangan Elio Modigliani di Nias Selatan Tahun 1886," yang diluncurkan pada awal Desember 2016 di Istituto Italiano di Cultura, Jakarta.
Pulau Nias yang posisinya melipir di sisi barat Pulau Sumatra dan menjadi bagian dari Provinsi Sumatra Utara terkenal di dunia sebagai pulau mungil dengan pantai yang indah.
Pasirnya putih, ombak yang sungguh seksi idaman para peselancar, pemandangan bawah laut yang memanggil-manggil para penyelam; tak ada duanya di dunia. Ada pula atraksi lompat batu, yang dulunya merupakan tradisi yang dilakukan oleh para pemuda sebagai ujian untuk menjadi prajurit—yang tak ada duanya di dunia.
Saat ini Pulau Nias juga sudah memiliki lapangan terbang, meskipun hanya bisa didarati oleh pesawat-pesawat kecil; komersial, carter, maupun pribadi.
Namun tidak demikian dengan Pulau Nias di tahun 1886 atau 130 tahun yang lalu. Meski terus diperebutkan oleh tiga pihak (Belanda, Inggris, dan para pedagang budak dari Aceh), sesungguhnya Nias masih merupakan wilayah liar dan misterius. Apalagi beredar desas-desus bahwa kerajaan-kerajaan lokal di Nias gemar berperang satu sama lain.
Tapi yang lebih horor, ada kebiasaan pihak yang menang perang akan memenggal kepala musuhnya, untuk dijadikan hiasan rumah, dan sebagian lagi tahanan perang dijual sebagai budak. Saat itu perdagangan budak yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara memang masih berlaku.
Perbudakan baru dihapuskan saat Inggris sempat menduduki Nusantara selama beberapa tahun, dipimpin oleh seorang intelektual yang kemudian namanya sangat terkenal, Sir Thomas Stamford Raffles.