Nonita merasakan panggilan untuk menggarap batik dengan serius. Ia pun mulai membuka akses lama, menghubungi rekan-rekan keluarganya. Saat itu Nonita menyampaikan niatnya membeli batik, tetapi tidak mau yang sudah jadi. “Aku memang tidak mau bersaing dengan barang-barang yang ada di pameran,” jelas Nonita. Gayung pun bersambut.
“Oh, ya, sudah. Kamu ke gudang saja. Banyak cap-cap yang tidak terpakai. Pakai saja,” kata seorang perajin. Nonita mulai bergerak: pilah-pilih cap, bermain dengan warna, kemudian motif. Mulanya, motif yang dipakai masih motif peninggalan perajin, kemudian ia mengeksplorasi lebih dalam. Namun pada 2009 sang ibu meninggal dunia.
Ada beberapa hal yang menjadi tantangan besar dalam membangun Purana, dan kepergian sang ibu adalah ujian berat pertama. “Waktu itu aku shocked banget, karena kepergiannya terbilang tiba-tba. Hanya dalam dua tahun setelah sakit, Ibu meninggal,” kenangnya.
Meski terasa berat, kepergian sang ibu tak membuat keinginan Nonita untuk menggarap batik surut. Sebaliknya, ia justru semakin mendalami batik. Kedekatan dengan perajin membuatnya lebih mudah melihat hal-hal yang luput dari mata awam, bahwa batik bukan sekadar motif.
“Paradigma terhadap batik mesti dibenahi dulu. Banyak orang menganggap batik sekadar motif. Jadi, batik printing di Cina pun dibilang batik. Itu salah.” jelasnya. Baginya, batik mencakup soal teknik, termasuk di antaranya pecantingan, pewarnaan, nglorod (merebus dan membilas), nyelup, dan molek. “Itu yang kita sebut batik. Batik itu ketika kita mem-preserve tekniknya.”
Banyak daerah dan negara memiliki batik sendiri. Malaysia, Sri Lanka dan Jepang, misalnya. Namun batik itu dihasilkan melalui teknik, pengaruh budaya dan arah yang berbeda. Nonita sendiri seperti tak ambil pusing, karena sejak awal ia sudah berkomitmen terhadap batik Nusantara. Untuk menjalankan komitmen itu, ia ingin agar dalam setiap produk Purana, ada hasil karya perajin kain Nusantara.
Nonita, sebagaimana pengagum batik lain, sangat menghargai filosofi dan keluhuran budaya dalam batik. Itu sebabnya ia tak ingin ‘merusak’ yang klasik. Motif batik favorit Nonita adalah truntum dan slobok. Truntum adalah motif bergambar bunga dan merupakan simbol cinta, biasa digunakan dalam acara perkawinan. Sementara slobok adalah simbol kesedihan, namun Nonita suka dengan polanya yang geometris.
Bagaimanapun, ia juga tak ingin Purana terjebak dalam kesan “tradisional”. Hal itu coba disiasati dengan me-refresh motif menjadi lebih modern. Ia ingin memberi sesuatu yang baru, segar, menggunakan teknik sudah dipakai sejak ratusan tahun lalu. Namun di situlah muncul tantangan berat lain.