Nonita Respati melihat batik sebagai hal biasa, hingga sang ibu jatuh sakit dan mendorongnya menemukan kembali kecintaan terhadap batik.
Rumah di kawasan Guntur, Jakarta Pusat, itu terasa teduh. Dinding-dindingnya, yang merupakan kombinasi beton dan bata, bercat putih. Begitu pula dengan bingkai-bingkai jendela dan pintunya yang jangkung. Sebuah Vespa putih parkir di teras, hanya berjarak beberapa meter dari Volkswagen Tiguana yang juga putih. Nuansa itu membuat sebuah pintu kuning, terletak di belakang VW, jadi tampak mencolok. Di atas pintu, pada bagian kanopi, tertera sebuah tulisan: Purana.
Purana merupakan lini busana yang didirikan Nonita Respati sejak 2008. Fokusnya adalah batik, meski Nonita punya mimpi menggarap berbagai kain Nusantara lain. Purana dikenal pula dengan eksplorasinya dalam tle-dye, satu metode pembuatan motif dan pewarnaan kain dengan teknik ikat celup. Jawa mengenalnya dengan jumputan, orang Banjarmasin menyebutnya sasirangan, sementara di Palembang disebut pelangi.
Dalam Bahasa Sansekerta, Purana memiliki arti “sejarah kuno”, dan merupakan bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda dan kisah lain. “Purana merupakan nama yang sangat perempuan,” jelas Nonita, “dan punya arti yang sangat dalam.” Sebuah pilihan nama yang wajar dari seseorang dengan latar belakang seperti Nonita.
Nonita seorang perempuan yang dibesarkan secara Jawa. Ia lahir di Solo, dari orang tua yang masih keluarga keraton. Rumah masa kecilnya adalah rumah kanjengan, yang berdiri sejak 1800-an. Rumah itu cukup luas dan terbuka untuk banyak kegiatan budaya, seperti pentas seni musik dan tari. Orang-orang kerap datang dan memainkan perangkat gamelan yang ada di pendopo rumah, juga latihan karawitan. Selain itu, tentu saja, ada seni batik.
Eyang Nonita adalah pengusaha batik. Ia punya pabrik di Solo, berlokasi dekat keraton Mangkunegaraan. Untuk kebutuhan pabrik, ia bekerja sama dengan banyak perajin. Itu sebabnya, sejak kecil Nonita sudah akrab dengan batik, dari aroma hingga motif-motifnya. “Ibaratnya, sejak lahir saya sudah dibungkus batik,” kata Nonita.
Ketika pabrik batik itu ludes akibat banjir besar, keluarga beralih bisnis ke bidang bahan bakar minyak. Saat itu tahun 1964. Bisnis BBM itulah yang lantas menurun ke orang tua Nonita, dan kemudian Nonita dan keempat saudaranya. “Jadi, sebetulnya darah bisnis itu memang mengalir di keluarga,” jelasnya. Bagaimanapun, membangkitkan bisnis batik belum terpikirkan hingga 2007 silam, ketika sang ibu mulai sakit-sakitan.
“Waktu itu Ibu terkena kanker payudara. Dan sejak itu, dia mulai manggil-manggil anak-anaknya, menawarkan batik koleksinya,” kenang Nonita. Batik koleksi sang ibu berbentuk kain dan jumlahnya berlemari-lemari. Umumnya klasik, seperti karya-karya Go Tik Swan dan RA Praptini Partaningrat. Saat itu, ketertarikan terhadap batik muncul kembali.
[Baca juga kisah Amalia Yunita mengembangkan olahraga arung jeram di Indonesia]