Ethical fashion, sebagai sebuah tujuan, tersusun oleh berbagai aspek yang saling bertalian dan memengaruhi. Begitu banyaknya faktor, sehingga klaim “100% ethical” terdengar seperti mitos, nyaris mustahil diterapkan. Ini persis seperti konsep organik dalam ranah kuliner.
Sangatlah sulit untuk memastikan bahwa proses produksi barang fashion dilakukan dengan 100% etis. Pada 2015 lalu, organisasi Fashion Revolution merilis laporan berjudul Behind the Barcode, dan memaparkan berbagai temuan menarik.
Dalam laporan itu, mereka mendapati bahwa 91% perusahaan fashion tidak tahu dari pertanian mana katun yang mereka pakai berasal, 75% tidak tahu sumber bahan pakaian mereka, 85% perusahaan tidak membayar pekerjanya dengan layak, dan 48% tidak mencari tahu di mana pakaian mereka dibuat.
Tentu saja, fakta itu sebaiknya tidak mengecilkan hati kita untuk berbuat sesuatu. Seperti halnya ada banyak jalan menuju Roma, ada banyak jalan untuk menjadi lebih etis.
Peningkatan kesadaran atas pentingnya sustainability dalam industri fashion telah mendorong stakeholders untuk melakukan perubahan. Desainer dan aktivis global, seperti Stella McCartney dan Livia Firth, sudah lantang bersuara. Pergerakan-pergerakan bertema ethical fashion, seperti Fashion Revolution, juga bermunculan di berbagai negara.
Di pihak lain, merek-merek seperti Zara, Uniqlo, H&M, yang selama ini menjadi sasaran tembak, mulai berbenah diri. Selain memperbaiki teknologi dan efisiensi, mereka meluncurkan berbagai program ramah lingkungan. H&M, misalnya, memiliki lini busana Conscious Exclusive dan mendanai Global Change Award, program yang bertujuan merangsang inovasi baru di ranah produksi barang fashion.
Di Indonesia, kita punya Emil. Sebagai desainer, Emil mungkin memilih daur ulang sebagai cara untuk lebih ‘ethical’. “Itu yang saya percaya, dan sudah menjadi way of life,” katanya. Tetapi itu tentu bukan jalan satu-satunya. Dan Emil tidak sendirian.
Merdi Sihombing, desainer berdarah Batak, memilih bekerja dengan kekayaan budaya lokal. Berbagai jenis kain dan motif ia olah dan gunakan, mulai dari batik, ulos, hingga tenun. Hasilnya adalah karya-karya yang kental dengan nuansa entik dan nilai tradisional.
Dalam proses kreatif, Merdi bekerja sama dengan para perajin di berbagai pelosok Indonesia. “Fokus saya ada di community development,” jelasnya. “Tidak semua prinsip ethical fashion cocok atau bisa diterapkan di Indonesia. Di sini, ya, salah satu caranya adalah dengan memberdayakan perajin lokal.”Klaim 100% ethical bisa jadi hanyalah mitos. Terlalu banyak mata rantai yang berada di luar pengawasan dan kekuasaan kita.
Jerih payah dan konsistensi Merdi telah menuai hasil. Kini ia sering mendapat permintaan untuk show atau sekadar bicara di berbagai forum, baik lokal maupun internasional. Di berbagai kesempatan, ia akan mempromosikan para perajin lokal yang bekerja sama dengannya, membuka jalan bagi mereka menuju panggung dunia.
Ada juga Felicia Budi, pendiri lini busana FBudi. Sebagai desainer, Felicia telah banyak mendapat kritik positif. Desainnya terkesan effortless tanpa menanggalkan kesan premium. Ia juga flawless dan kaya akan detail kecil yang justru membuatnya mencolok. Namun yang membuat Felicia lebih menarik adalah kepeduliannya terhadap ethical fashion.
Felicia sendiri menolak jika disebut desainer dengan konsep ethical fashion. “Tanggung jawabnya sangat berat untuk sampai ke situ,” katanya, “dan saya tidak mau memakai kata ‘sustainability’ sebagai senjata komersial.” Bagaimanapun, ia tidak menyangkal bahwa dalam membangun FBudi, berbagai prinsip ethical fashion ia terapkan.
Salah satunya adalah terkait fair trade (Felicia tetap menolak menggunakan istilah fair trade). “Saya hanya ingin memperlakukan pekerja saya dengan baik dan sesuai aturan. Rasanya, itu sudah semestinya, ya? Atas dasar kemanusiaan saja. Dan ini semestinya tak hanya di bidang fashion.”
Ketika bekerja dengan perajin di daerah, Felicia akan menjelaskan pada mereka bahwa kain akan digunakan untuk apa, dan akan dijual ke mana saja. Kemudian, barulah ia bertanya soal harga yang fair untuk mereka. “Saya tidak mau menekan harga. Jangan jadi malah kita yang menentukan. Intinya, kita transparan.”
Klaim 100% ethical bisa jadi hanyalah mitos. Terlalu banyak mata rantai yang berada di luar pengawasan dan kekuasaan kita. Tetapi ketika kita bicara upaya, maka 100% adalah angka yang bisa diperjuangkan.