Fast fashion dan beban bumi
Dulu, dunia fashion mengenal dua macam musim: Spring/Summer dan Fall/Winter. Setiap desainer di muka bumi berkarya dengan mengacu pada timeline tersebut. Setengah tahun untuk mempersiapkan pakaian musim panas, setengah lagi untuk musim dingin. Tetapi zaman sudah berubah.
Kini, dalam jagat fashion muncul musim-musim mikro yang, bagi sebagian orang, terkesan mengada-ada. Sebut saja, Pre-Fall, Cruise, Resort, Couture, dan entah akan ada apa lagi.
Musim-musim itu muncul lantaran roda industri yang bergulir semakin cepat. Dan dengan persaingan yang kian ketat, produsen dituntut untuk berinovasi menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Pola pikirnya sederhana: dengan lebih banyak koleksi, konsumen akan belanja lebih banyak, dan perusahaan selamat. Maka lahirlah fenomena fast fashion.
Berbeda dari cara konvensional, model bisnis fast fashion beroperasi dengan prinsip “lower quality, higher volume.” Ongkos produksi ditekan, namun barang diproduksi dalam jumlah banyak. Hasilnya, barang fashion pun jadi murah, meriah, pasrah. Model bisnis ini dipelopori oleh berbagai brand yang kita kenal saat ini, seperti Zara, H&M, Forever21, juga Topshop.
Zara, menurut Elizabeth Cline dalam buku Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion (2012), mengirim koleksi baru setiap dua kali seminggu. H&M dan Forever21 mengirimkan barang baru setiap hari. Sementara, Topshop memperkenalkan 400 model dalam seminggu di website.
Meledaknya fenomena fast fashion bukan tanpa konsekuensi. Ia memiliki imbas dari hulu ke hilir. Di hulu, para buruh kerap menjadi korban. Fast fashion telah, secara tidak langsung, meningkatkan beban kerja buruh, dan di waktu bersamaan, menekan upah hingga level yang menyedihkan.
Andrew Morgan, dalam film dokumenter The True Cost (2015), menjabarkan dengan sederhana. Saat para brand bersaing dan meluncurkan lebih banyak produk, mereka memerlukan kontraktor yang bisa memenuhi kebutuhan itu dengan harga termurah.
Ilustrasinya seperti ini: Kontraktor A menawarkan, katakanlah, Rp10.000 per baju. Kemudian datang kontraktor B dengan harga lebih bagus, Rp7.500 per baju, yang kemudian dikalahkan kontraktor C dengan penawaran super miring, Rp5.000 per baju. Begitu seterusnya.
Para kontraktor mesti melakukan itu, karena jika tidak, mereka berisiko kehilangan bisnis dan gulung tikar. Tetapi pertanyaan besarnya adalah: ketika harga ditekan sedemikian rendah, siapa yang menanggung akibatnya? Buruh (tebakan Anda benar).
Dalam film dokumenter The New Rules of the World (2001), John Pilger mengisahkan kehidupan buruh di Indonesia. Temuannya, dari produk celana pendek merek GAP seharga Rp112 ribu (tahun 2000-2001), buruh hanya mendapat Rp500. Sementara untuk produk sepatu seharga Rp1,4 juta, buruh cuma dapat Rp5.000. “Uang itu bahkan tak cukup untuk membeli tali sepatu,” kata Pilger.Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri tekstil memiliki andil besar terhadap pencemaran lingkungan. Ia bahkan menduduki peringkat kedua setelah industri minyak.
Banyak orang berpendapat bahwa bekerja dengan upah secuil masih lebih baik daripada tidak mendapat pekerjaan. Apalagi, jika upah tersebut tidak melanggar aturan ketenagakerjaan di negara tempat buruh itu bekerja. Mereka bisa jadi benar. Bagaimanapun, jika kita mau mempertimbangkan prinsip ethical fashion, rasanya tak sulit menemukan ketimpangan di sana.
Imbas lain dari fenomena fast fashion memengaruhi bagian hilir alias konsumen dan, tentu saja, lingkungan hidup. Persis seperti fast food yang mencemari diet dengan makanan bergizi buruk dan perilaku kompulsif, fast fashion mencemari pola berbelanja dengan barang murah berkualitas rendah. Selamat datang di era McFashion!
Dengan hujan koleksi terbaru yang mengguyur setiap bulan (bahkan setiap minggu), konsumen digoda untuk terus menjadi up to date dengan tren terbaru. Padukan itu dengan harga yang murah, maka siapa, sih, yang tidak kalap?
Model operasi fast fashion, ditambah dengan taktik promosi yang menggiurkan, sangat efektif dalam membuat konsumen terbuai. Mereka tak lagi berpikir panjang ketika membeli. Dan dengan tak berpikir panjang ketika membeli, jangan harap seseorang berpikir panjang ketika membuang.
Menurut data Environmentalleader.com, setiap warga Amerika Serikat membuang 32 kg pakaian setiap tahun. Sayangnya, 85% dari pakaian itu tidak digunakan kembali atau didaur ulang, melainkan berakhir di tempat sampah. Coba kalikan dengan 321 jiwa penduduk AS, lalu tambahkan dengan penduduk lain di muka bumi. Kita sedang membangun gunung sampah.
Belum lagi perkara sumber daya alam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri tekstil memiliki andil besar terhadap pencemaran lingkungan. Ia bahkan menduduki peringkat kedua setelah industri minyak.
Dalam urusan air saja, pewarnaan tekstil menyumbang 17-20% polusi air di dunia. Ada 8.000 macam bahan kimia sintesis yang digunakan di seluruh dunia untuk mengubah bahan mentah menjadi tekstil. Produksi bahan katun, sebagai contoh lain, menghabiskan 2,6% dari penggunaan air global. Pada 2030, jumlah itu diprediksi meningkat hingga 40%. Dan itu baru soal air, belum lagi bicara emisi.
Sederhananya, alam dan sumber dayanya tak lagi mampu mengimbangi demand dan perilaku overconsumption yang terus meningkat. Sekarang, semua tergantung dari apa yang hendak kita lakukan.