Mimpi besar ethical fashion
Dra. Euis Saedah, M.Sc, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, mendefinisikan ethical fashion sebagai proses produksi dengan pendekatan yang memaksimalkan manfaat kepada orang dan komunitas, serta mengurangi dampak terhadap lingkungan. Pendekatan itu meliputi desain, pencarian bahan dan manufaktur.
Pengertian itu serupa dengan yang dicetuskan oleh Ethical Fashion Forum, juga senada dengan filosofi dari banyak organisasi dan pergerakan lain yang juga mengusung filosofi ethical fashion. Emil sendiri lebih menyukai istilah sustainable fashion. Baginya, “Sustainable fashion berarti semua lapisan kerja bisa melangsungkan hidup dengan layak. Happy secara fisik dan mental.”
Ethical fashion punya mimpi besar. Harapannya, ketika setiap orang bekerja dengan lebih mengindahkan etika dan kepedulian, industri fashion akan mendatangkan lebih banyak manfaat serta kesejahteraan, baik bagi para pelaku, maupun bagi orang lain dan lingkungan sekitar. Kedengarannya memang indah. Tetapi siapa pun tahu, teori dan praktik terkadang beda jauh.
Ketika pada 2013, Rana Plaza, gedung di Bangladesh yang digunakan untuk pembuatan garmen rubuh dan membunuh 1.333 orang serta menciderai 2.500 lainnya, dunia menjerit. Ini tragedi paling mematikan dalam sejarah industri garmen.
Tragedi itu memicu dunia, terutama stakeholders industri fashion, mengkaji kembali roda industrinya. Mereka menguliti, menyoroti masalah yang ada dalam tiap-tiap mata rantai industri. Berbagai penelitian pun dilakukan. Dan muncul lah berbagai isu yang menantang mimpi besar ethical fashion.