Seperti fast food mencemari diet, fast fashion berpotensi mencemari pola berbelanja dan lingkungan hidup.
“Hi Em, do you wanna grab some coffee or something?” Tanya dosen pada seorang murid, suatu siang di sekolah mode Esmod, 2009 silam. Ada kekhawatiran dalam ajakannya.
“No.”
“I want to talk with you… your face look so horrible.”
“No.”
Sang murid adalah Catherine Emilia, siswi yang sedang menjalani tahun terakhir studi di Esmod. Emil seorang perempuan bertubuh mungil, berkulit putih dan bermata sipit. Gesturnya memancarkan kesan energetik. Ia juga murah senyum. Tetapi siang itu ia berada dalam jurang depresi.
Di kafe, usai menerima ajakan sang dosen, Emil mulai bercerita soal masalah yang ia pendam. “Saya tidak bisa melakukan ini lagi,” katanya. Air mata jatuh tak terbendung. “Saya mau recycling saja.”
Emil, seperti umumnya siswa-siswi sekolah mode, punya mimpi menjadi seorang desainer mode. Namun ia punya satu masalah yang jarang dimiliki oleh para calon desainer: Ia tak tahan melihat sisa potongan kain terbuang sia-sia.
Bagi sebagian besar desainer mode, mendapati kain sisa potong mungkin perkara kecil. Sesuatu yang wajar, bisa dibilang. Sewajar tukang kayu mendapati kayu sisa mengukir meja, atau tukang daging yang membuang gajih demi potongan bersih. Remeh-temeh. Sepele. Tetapi tidak bagi Emil.
Sejak kecil, Emil memang gemar mengumpulkan dan atau mengolah barang-barang bekas yang dianggap sampah oleh orang lain. Beling-beling atau kertas, misalnya. Dari barang-barang itu, Emil akan berkreasi. ‘Bakat’ itulah yang membuatnya menaruh perhatian khusus pada konsep recycle.
Recycle, dalam konteks lingkungan hidup, sudah jadi hal yang mendesak dan tak bisa ditawar (ingat global warming?). Namun dalam ranah fashion, konsep itu masih jauh dari arus utama.
Bagaimanapun, dunia punya harapan seiring menguatkannya gaung soal ethical fashion. Tetapi apa sesungguhnya ethical fashion?