Dalam Hari Belanja Online (Harbolnas) 2015 silam, misalnya. Kofera.com, perusahaan yang menganalisis data selama Harbolnas, menyatakan partisipan meningkat 10 kali lipat dari tahun sebelumnya, dari 10 ribu jadi 200 ribuan. Pada puncaknya, 11 Desember 2015 pukul 00.00, terjadi delapan juta transaksi pembelian.
Data Mastercard Online Shopping Behavior Study dari Mastercard Indonesia menunjukkan, minat masyarakat Indonesia untuk berbelanja online juga meningkat dari 55,8% pada 2013 menjadi 70,6% pada 2014. Tren tersebut diprediksi terus meroket jika melihat perkembangan akses internet di Indonesia.
Di sisi lain, per 2015, dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, terdapat 93,5 juta pengguna internet. Jumlah itu diperkirakan menjadi 102 juta pada tahun ini. Dan menurut Tech in Asia, pada 2013 ada 4,3 juta orang yang telah terbiasa berbelanja online, yang tahun ini diperkirakan mencapai 8,4 juta orang dengan estimasi penjualan Rp61 triliun.
Melihat tren tersebut, tidaklah mengherankan jika kini setiap pebisnis menjajakan dagangan secara online, baik lewat situs resmi maupun lewat marketplace seperti Tokopedia, OLX, Toko Bagus dan sejenisnya.
Setiap pebisnis kini juga menyadari bahwa, dalam pasar bebas ranah maya, penjual tak bisa hanya berpangku tangan menunggu pelanggan. Mereka harus menjemput bola, menjangkau jutaan netizen dengan bantuan ‘tangan-tangan’ lain: Media sosial.
Menjadi sukses di media sosial bukan pekerjaan gampang dan cepat. Agar populer, seseorang mesti piawai berinteraksi dengan netizen dan ‘menjaga’ hubungan dua-arah tersebut. Ini yang dikenal sebagai “engagement”.Engagement, tentu saja, tak mungkin diperoleh tanpa kejelian membaca kebutuhan dan segmentasi pasar
Engagement, tentu saja, tak mungkin diperoleh tanpa kejelian membaca kebutuhan dan segmentasi pasar, kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang sesuai dengan norma-norma di jagat internet. Tanpa semua itu, seseorang bagaikan berbicara dengan tembok.
Yoris Sebastian, pendiri Oh My Goodness (OMG) Creative Consulting, menjelaskan soal kemampuan berbahasa. “Bahasa yang sesuai dengan audins yang dituju sangatlah penting. Sering kali, bahasa dari brand tidak sesuai. Misalnya, saat sebuah brand ganti logo, ganti slogan dan menggeser target audience ke anak muda, bahasanya tidak berubah menjadi lebih anak muda.”
Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah bahasa yang kita gunakan dalam bisnis online mestilah nonformal dan meninggalkan EYD sama sekali? Jika iya, apakah itu berarti “Bahasa Indonesia yang baik dan benar” bukanlah bahasa yang efektif dan efisien? Jika tidak, bagaimana sebaiknya pebisnis berkomunikasi?