Dalam jual-beli online, gaya bahasa nonformal dan serabutan kerap dipakai demi memuluskan transaksi. Apa kabar dengan EYD?
“Masih, Sis?” tanya satu pelanggan kepada penjual sambal di Tokopedia via SMS. “Sis” adalah pemotongan dari kata “sister” yang berarti saudari. Ini merupakan sapaan umum terhadap perempuan dalam jagad jual-beli online saat ini.
Di ujung lain, sang penjual sambal membalas usai memastikan stok persediaan. “Maaf baru balas,” katanya, “Masih ada, Sis. Mau pesan berapa?”
Sekilas, percakapan itu terdengar biasa-biasa saja. Tetapi sesungguhnya, ada yang luar biasa di sana.
Pertama, soal pembuka pembicaraan. Entah apa yang ada di benak pembeli sehingga dia yakin betul bahwa sang pedagang bisa mengerti apa yang diinginkan hanya dengan “Masih, Sis?”
Kedua, apa yang ada di benak pembeli sehingga dia percaya betul sang pedagang adalah perempuan?
Entah sejak kapan semua pedagang online wanita menjadi saudari kita, dan sejak kapan yang pria selalu bernama Agan. Namun di ranah online, sapaan itu sudah menjadi umum dan, sering kali, menentukan.
Begitulah gaya bahasa dalam bisnis online. Dalam dunia yang interaktif, hubungan antara penjual dan pembeli jadi terasa amat dekat, seolah tanpa sekat. Mereka saling-sok-kenal, kasual, cair dan terkadang frontal.
Dunia online juga mendorong munculnya berbagai istilah popular baru yang khas. Siap pun yang pernah belanja online pasti pernah mendengar ini: COD (cash on delivery), preloved (bekas barang kesayangan), mint condition (seperti baru), free ongkir (gratis ongkos kirim), rekber (pembayaran melalui rekening bersama), sundul gan (saat seseorang membantu memopulerkan sebuah artikel di forum internet), hingga no Afgan (tidak boleh menawar dengan sadis; diambil dari lagu “Sadis” milik Afgan).
Begitulah. Lucunya, gaya bahasa yang demikian, yang terkesan mengobrak-abrik tata bahasa dan kadang bikin kita tertawa, justru efektif dalam berbisnis online.Bahasa itu pengemas komunikasi. Kita perlu menengok kembali prinsip dasar komunikasi. Filosofi berkomunikasi adalah kita harus memahami siapa yang diajak bicara. Segmentasinya seperti apa?
Fenomena itu lantas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan menggelitik: Kelirukah kita dalam memaknai “bahasa yang baik dan benar”? Juga, apakah sebagai pemilik bisnis kita mesti beradaptasi?
Ketika Nadia Sahara membuka toko online Old Hanger pada 2014 silam, ia mesti mempelajari betul cara berkomunikasi di Instagram, medium yang ia pilih untuk berjualan. Old Hanger sendiri menjual curated secondhand items, mulai dari pakaian hingga pernak-pernik.
“Dulu, pas baru berjualan, sempat kaget juga dengan cara orang berkomunikasi di Instagram,” jelasnya. “Ada yang kalau ngomong pakai kata ‘kau’. Ada lagi yang kalau nulis tanda serunya banyak.” Mulanya Nadia merasa seperti sedang dimaki-maki.
Bagaimanapun, lambat laun Nadia memahami bahwa tak semua pembeli berbicara sebagaimana dia bicara. Tak semua pelanggan orang Jakarta, dan tak semua pelanggan pandai atau mau berbasa-basi. Setiap pelanggan adalah unik. Nadia pun mulai jeli dalam berkomunikasi.
“Bahasa itu pengemas komunikasi. Kita perlu menengok kembali prinsip dasar komunikasi,” jelas Amalia E. Maulana, Ph.D, pendiri Etnomark, satu perusahaan konsultasi merek dengan pendekatan etnografi. “Filosofi berkomunikasi adalah kita harus memahami siapa yang diajak bicara. Segmentasinya seperti apa?”
Sederhananya, dalam perspektif ilmu komunikasi, tak ada yang salah dengan gaya berkomunikasi apa saja, selama yang berkomunikasi bisa saling merasa lebih dekat dan saling memahami. Mau memanggil dengan sapaan Sis, Bro (brother), Beb (baby), atau Gan (juragan) sekalipun, sah-sah saja.
“Paling aman adalah menyesuaikan diri dengan cara mereka berbicara ke kita,” jelas Nadia saat ditanya mengenai trik komunikasi yang efektif kepada pelanggan. “Kalau mereka menyapa dengan Sis, kita balas pakai Sis. Kalau Beb, balas Beb.” Ia juga mengatakan soal pentingnya fast response saat berkomunikasi.
Kemampuan berkomunikasi yang efektif itu menjadi semakin penting ketika kita menengok tren belanja online. Seiring waktu, kepercayaan masyarakat terhadap transaksi online telah meningkat signifikan. Begitu pula dengan uang yang berputar.