Yang juga membuat saya penasaran, di Sumba saya cukup sering melihat anak-anak berwajah blasteran. Rambutnya keriting, kulitnya cokelat gelap, tapi garis-garis wajahnya seperti ras Kaukasia.
Belakangan saya diberi tahu bahwa ternyata banyak wisatawan—atau ilmuwan—asing, khususnya dari Australia, yang ‘meninggalkan jejak’ mereka di Sumba. Ada yang mengawini penduduk lokal dengan resmi, ada pula yang hit and run. Namun, sepertinya anak-anak blasteran itu tidak mengalami hambatan dalam pergaulan sehari-hari dengan teman-teman mereka yang berdarah Sumba asli.
Dalam perjalanan menuju Kabupaten Sumba Timur, kami berhenti di sebuah bukit yang namanya menjadi terkenal setelah dijadikan lokasi syuting film Pendekar Tongkat Emas yang antara lain dibintangi oleh Nicholas Saputra, Reza Rahadian, dan Christine Hakim. Namanya Bukit Warinding. Sayangnya, saat saya tiba di sana, warna hijau hanya terlihat di bagian bukit terendahnya. Bagian atas bukit terlihat kuning kerontang. Menurut informasi dari seorang teman,sudah sekitar enam bulan lamanya hujan tak kunjung turun di Sumba.
Memasuki Kota Waingapu, suasana kehidupan urban mulai terasa. Mobil-mobil tampak berlalu lalang, sejumlah minimarket menghiasi sisi jalan. Kami mampir sebentar di salah satu kampung perajin tenun ikat. Bagusnya, para perajin itu sudah bisa menghargai karya kerajinan mereka. Buktinya, tenun ikat yang dijual di situ paling murah seharga 3 juta rupiah.
Bagaimana kalau kita tidak membawa uang kontan sebanyak itu? Tenang saja! Sudah tersedia mesin penggesek kartu kredit maupun kartu debit!
Dari Waingapu, saya langsung menuju Savana Puru Kambera. Apa yang saya saksikan di situ mengingatkan saya pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sewaktu di SD dulu. Rerumputan—meski tampak menguning—terlihat cantik dan eksotis. Sekali lagi saya melihat kuda-kuda sedang merumput atau saling berkejaran. Kami menghabiskan siang di salah satu pantai yang tak jauh dari savana.
Sore harinya, saya berpindah posisi ke Pantai Walakiri. Pada sore hari air laut surut, sehingga terlihatlah deretan pohon bakau atau mangrove yang akar-akarnya menancap kokoh di pesisir pantai. Siluet yang tercipta ketika matahari mulai tenggelam sungguh memukau sekaligus menciptakan suasana mistis.
Keindahan alam membuat kami memperpanjang satu hari kunjungan ke Sumba. Diantar seorang teman yang sudah setahun bertugas jadi dokter di Sumba, kami diajak mengunjungi Kampung Raja Prailiu. Kebetulan ketika itu sedang diadakan semacam bazar memperingati Hari Kemerdekaan RI. Para wisatawan yang datang diberi kesempatan untuk mencoba bermacam makanan khas Sumba.
Salah satu yang hadir dalam keramaian pesta rakyat itu adalah Raja Prailiu. Sang raja masih muda, sekitar 30 tahunan. Bertubuh jangkung, ramping, berkulit sawo matang, dan berwajah seperti bule. Bisa dimaklumi, ia juga berdarah blasteran, karena ibunya orang Australia. Istri sang raja muda juga wanita bule.
Saya yakin, suatu saat nanti saya pasti akan kembali ke sini. Bisikan angin yang berembus seantero Sumba terus mengingatkan dan memanggil-manggil saya.
Foto: Nabila Kariza