Film Pendekar Tongkat Emas ikut berjasa memperkenalkan keindahan alam dan budaya Pulau Sumba. Saya juga ikut tersihir. Dan, demi Tuhan, saya pasti bakal menyesal seumur hidup jika tak pernah menginjakkan kaki di pulau yang ajaib ini!
Tak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa perjalanan saya kali ini di wilayah Timur Indonesia membuat pandangan saya berubah. Sumba memang ajaib. Kesederhanaan dan keluguannya justru membuat saya merasa betah. Selama lima hari blusukan di Sumba, saya merasakan sweet escape yang sesungguhnya. Terbebas dari ponsel—karena sinyalnya lebih sering menghilang—justru membuat saya lebih mudah menikmati indahnya alam dan budaya yang membentang di depan mata.
Pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandar Udara Tambolaka, di Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di pertengahan Agustus itu, cahaya matahari menyilaukan mata. Rerumputan terlihat meranggas dimakan musim kemarau. Anehnya, udara justru terasa sejuk, bahkan cenderung dingin. Benua Australia yang berada di selatan Sumba memang sedang berada di musim dingin. Angin dingin yang bertiup dari selatan itulah yang membuat udara di Sumba terasa dingin, meskipun di tengah musim kemarau.
Bersama tiga teman—Dania, Lala, dan Tari—serta seorang pemandu lokal, saya pun memulai perjalanan darat dengan mobil sewaan, yang sudah termasuk dalam paket wisata yang kami pilih. Menggunakan jasa biro wisata untuk menjelajahi Sumba sejauh ini memang masih pilihan terbaik, mengingat kondisi transportasi umum yang belum memadai. Angkot pun nyaris tidak ada.
Masyarakat setempat ke mana-mana berjalan kaki. Hanya sedikit sekali yang menggunakan sepeda motor, apalagi mobil. Kalau pergi beramai-ramai ke tempat yang cukup jauh, mereka naik truk. Tujuan pertama kami adalah Kampung Ratenggaro, di Desa Umbu Ngedo.
Lokasinya cukup jauh dari tempat saya menginap di Waikabubak. Untunglah jalanan sepi, sehingga kami bisa leluasa menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. Kampung ini berada di dekat laut, dan terlihat begitu kokoh. Keluar dari mobil, kami disambut oleh kerumunan anak-anak kecil. Mereka dengan aktif mengajak saya dan teman-teman untuk memasuki desa mereka. Sebuah bangunan megah dari kayu langsung memerangkap mata saya.
Disebut Uma Kelada, rumah adat beratap ijuk itu memiliki menara menjulang setinggi 15 meter. Di tengah-tengah desa terdapat kompleks makam yang dibangun dari batu-batu berukuran besar. Meskipun resminya menganut agama Katolik, masih banyak penduduk Sumba yang masih menganut kepercayaan tradisional. Di hari-hari berikutnya, pemandangan makam batu ini akan sering saya temukan di setiap sudut Sumba. Sama banyaknya dengan gereja.
Tanpa terasa, matahari sudah condong ke timur. Sebelum keburu gelap, saya buru-buru lari ke pantai untuk menikmati matahari yang terbenam di Pantai Pero, tak jauh dari Kampung Ratenggaro. Letaknya yang langsung berhadapan dengan Lautan Hindia membuat arus yang datang sangat deras, sebelum dengan dahsyat menabrak bebatuan di bibir pantai yang mulai terkikis.
Inilah salah satu pemandangan matahari terbenam terindah yang pernah saya saksikan sepanjang hidup. Matahari yang menuju peraduannya di kaki langit tampak sangat… jingga! Pemandangan di sekitarnya pun jadi berpendar-pendar. Dan mungkin karena nyaris tak ada polusi, saya dapat menyaksikan detikdetik menghilangnya matahari dengan jelas, tanpa tertutup awan sedikit pun.
Keesokan harinya, sang pemandu membawa kamimenuju Kabupaten Sumba Barat Daya, tepatnya di Desa Kalenagoro, Kodi Utara. Setiba di sana, lagi-lagi napas saya tercekat. Sungguh luar biasa apa yang saya temukan. Sebuah Laguna dengan air berwarna biru jernih memantulkan langit yang birunya tak kalah jernih. Weekuri Lagoon, begitu tempat ini disebut.
Saya beruntung, karena ketika tiba di sana, ketinggian air cukup tinggi sehingga nyaman untuk berenang. Kalau tinggi air sedang, kita hanya bisa bermain air di sana. Teriknya matahari tidak dapat mencegah keceriaan kami. Kulit yang menghitam pun tidak lagi terpikirkan. Sehabis berenang di laguna, badan kami lelah sekali. Kami pun memutuskan kembali ke pengingapan untuk beristirahat. Tapi, saya yakin Sumba masih punya banyak kejutan buat kami.
Dan memang benar. Esok harinya kami melanjutkan perjalanan ke Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Desa Lapopu, Sumba Barat. Di sana saya bertemu dengan Air Terjun Lapopu. Airnya mengalir di antara bebatuan yang terbelah dengan akar pohon—cantik sekali! Dan pemandangan ini menjadi lebih memikat, karena hanya ada kami berempat di tempat itu. Pas untuk… melamun!
Ada pemandangan khas dalam perjalanan setiap kali kami menyusuri Pulau Sumba—kuda-kuda liar yang bebas berlarian di padang savana. Pemandangan yang nyaris tidak bisa ditemukan di tempat-tempat lain di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Kuda Sumba memang bertubuh relatif kecil, namun kekuatan dan kelincahannya tak terbandingkan.
Pemandangan anak-anak kecil yang berlarian juga tak kalah menyenangkan mata. Ke mana-mana mereka berlari, dengan kaki telanjang, seolah tak kenal rasa lelah. Mereka juga ramah dan senang menyapa dan tertawa. Mereka juga tak suka minta uang dari para wisatawan. Mereka hanya sesekali minta permen. Saya sungguh menyesal karena tak membawa permen.
Para penduduk ternyata juga tak asing dengan aktor Nicholas Saputra. Karena, selain membintangi Pendekar Tingkat Emas yang lokasinya di sana, kabarnya aktor ganteng itu juga sering blusukan ke Sumba.