
Bagi orang Batak, ulos bukan sekadar wastra tradisional. Ulos juga memiliki makna spiritual sebagai simbol doa dan restu (pasu-pasu) untuk menandai tiga peristiwa utama dalam siklus hidup manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Ada ulos parompa yang diberikan oleh ompung (kakek-nenek) kepada cucu yang baru lahir—ulos hela dari pihak orang tua pengantin perempuan untuk pengantin pria, dan ulos saput (sibolang) dari tulang (paman) untuk keponakannya yang meninggal dunia.
Sayangnya tak banyak orang Batak yang mau bersusah payah mempelajari lebih jauh tentang ulos, termasuk motif-motifnya yang penuh makna. Kebanyakan mereka—termasuk yang masih tinggal di Tapanuli—hanya memakai dan membeli ulos sekadar sebagai pelengkapan wajib untuk mengikuti upacara adat tanpa memahami maknanya.
Hal itulah yang menjadi keprihatinan Marthalena Sirait Boru Napitupulu, 68, putri seorang pengusaha ulos yang lahir di Porsea, Kabupaten Toba Samosir. “Ayah saya mempekerjakan anak-anak dan remaja di kampung untuk menenun ulos sepulang sekolah. Hasilnya bisa untuk membiayai sekolah mereka,” kenang ibu dari artis dan presenter Charles Bonar Sirait ini.
Menginjak remaja, Martha pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, menikah dengan Amir Liven Sirait, lalu menetap di Ibu Kota sampai sekarang.
Pertemuannya kembali dengan ulos terjadi setelah ayahnya meninggal dunia dan Martha mengajak ibunya tinggal bersamanya di Jakarta. Dari cerita-cerita sang ibu, Martha tergerak untuk kembali mendalami seni dan tradisi ulos seperti yang telah dimulai oleh ayah-ibunya.
“Saya ingin mengangkat harkat ulos seperti halnya batik tulis di Jawa yang diperlakukan sebagai karya adiluhung,” kata ibu tiga anak ini. Namun, ia juga ingin agar ulos bisa digunakan secara lebih luas, tak hanya untuk keperluan upacara adat.
Dibantu sang ibu, Martha menghidupkan kembali usaha penenunan ulos milik ayahnya. Namun kali ini, dengan bahan baku yang lebih premium, seperti benang sutra. Ia juga meningkatkan keterampilan para penenun agar bisa menghasilkan tenunan yang lebih rapi dan halus. Pada tahun 1985, dengan dukungan dari suami dan ibunya, Martha mendirikan perusahaan bernama Martha Ulos.
Martha pula yang pertama kali mencetuskan ide untuk membuat tenun songket dari motif-motif ulos, sehingga bisa dijadikan kain yang indah untuk dikenakan ke pesta. Ia juga membuat bed cover, hiasan dinding, sarung bantal untuk kursi, dan sebagainya. Untuk memperkenalkan karya-karyanya, ia rajin mengikuti pameran. Bahkan, ia sudah beberapa kali berpameran di Jepang.
Namun langkahnya bukan tanpa hambatan. “Awalnya habis saya ‘dihantam’ oleh raja-raja adat. Saya dianggap merendahkan ulos yang sakral. Padahal, saya hanya mengambil sebagian motifnya, tidak seluruhnya, untuk dikembangkan menjadi kain songket dan sebagainya. Saya juga tidak pernah memotong-motong kain ulos,” ia bersikukuh. Ia hanya ingin seni ulos berkembang dan bisa memberi penghidupan yang layak bagi para penenun ulos.
Ia memang sangat peduli pada nasib penenun ulos, karena merekalah garda terdepan yang melestarikan ulos. “Sebelum ini pengantin Batak mendapat banyak sekali hadiah ulos dari para kerabat di hari perkawinannya. Sekarang, semakin banyak yang menggantikannya dengan uang. Memang lebih praktis dan berguna, tapi saya tetap rajin menyarankan agar biarlah hadiahnya tetap ulos, supaya bisa memberi penghidupan para penenun ulos,” kata Martha.
Belakangan, ia juga mengembangkan sayap dengan menjadi penyelenggara perkawinan (wedding organizer) adat Batak. “Soalnya saya lihat selama ini pesta perkawinan Batak sering berlangsung tanpa susunan acara yang jelas dan berpanjang-panjang, sehingga terkesan kurang sakral dan sophisticated, juga sangat melelahkan,” ujar Martha.
Maka ia pun merancang rundown yang lebih praktis tapi tetap memasukkan semua unsur adat yang wajib ada, serta memotong bagian-bagian yang dianggap bertele-tele. Di sela-sela ritual, MC akan menjelaskan tentang keutamaan ulos serta filosofinya. “Lewat cara seperti itulah saya mencoba membangkitkan kesadaran dan kebanggaan orang Batak terhadap ulos,” Martha menambahkan.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah gaya: Erin Metasari