Sebagai sutradara maupun produser, Lola Amaria selalu menampilkan isu sosial di Tanah Air, dalam kemasan yang membuka mata penontonnya.
Tentu kita masih ingat bagaimana ia menghadirkan isu para TKW di Hong Kong dalam film "Minggu Pagi di Victoria Park" (2010). Lalu, Lola menyindir politik dan isu korupsi dalam "Negeri Tanpa Telinga" (2014). Tak heran jika empat filmnya disimpan dalam Perpustakaan Kongres Amerika Serikat.
Akhir Mei 2018 film terbarunya dirilis. "Lima" adalah judul singkat dari film omnibus yang menggambarkan beberapa isu sosial terkait nilai-nilai dalam Pancasila. Film ini juga seperti menyambut Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang Agustus nanti, karena salah satu ceritanya memotret kehidupan atlet renang.
"Lima" boleh dibilang karya Lola untuk mengajak anak muda lebih memahami nilai-nilai dalam Pancasila yang mungkin mulai terlupakan, dalam kemasan modern drama realis. Untuk film ini, Lola menjadi sutradara bersama empat sutradara lain, yaitu Adriyanto Dewo, Harvan Agustriansyah, Shalahuddin Siregar, dan Tika Pramesti.
Dalam wawancara dengan beberapa media, sebenarnya Lola ingin agar film "Lima" bisa ditonton semua umur, atau remaja. Tapi Lembaga Sensor Film memberikan rating untuk 17 tahun ke atas. Namun Lola tetap optimis pesan yang ingin disampaikan "Lima" bisa menjangkau audiens luas. "Semoga banyak yang makin memahami nilai-nilai Pancasila setelah menonton Lima," kata Lola.
"Lima" sendiri mendapat banyak pujian, termasuk dari figur publik dan selebritas, yang hampir semua menyatakan kalau film ini "wajib ditonton oleh anak muda Indonesia."
Foto: Hendra Kusuma
Busana: Friederich Herman
Pengarah gaya: Erin Metasari