Sejak saat itu sampai hari ini setiap tahunnya, ia rutin ikut serta dalam pameran. Fhung beruntung sempat memenangkan program residensi di Vermont, Amerika Serikat.
"Suasananya seperti utopis. Empat puluh visual artist dan creative writers bekerja di dalam satu lingkungan yang sangat mendukung. Kesempatan yang sangat langka untuk bisa berkenalan dan berinteraksi dengan beragam seniman dan penulis dari mancanegara," kata Fhung.
Sebagian besar ekshibisi Fhung diselenggarakan di Sin Sin Artspace Hong Kong. Di tempat itu wanita ini juga bekerja sebagai Creative Assistant.
Di luar bekerja, ia berkarya. Menghabiskan banyak waktu di studio. Membentuk sayap-sayap porselen dan melilit tembaga. Kadang ia selingi dengan membuat perhiasan.
Belakangan, ia mendorong diri sendiri untuk lebih sering keluar rumah. Bila tidak, ia bisa diam di dalam studio satu minggu penuh Fhung mengawalinya dengan menjadwalkan aktivitas di luar ruang dua hari sekali.
“Di belakang rumah ada bukit curam. Saya menikmati berjalan menuju puncak sambil mengamati tanaman di sekitar. Baru-baru ini saya membeli lensa makro agar bisa melihat detail kecil dari tumbuhan dan tanaman. Saya pernah menemukan kepompong kupu-kupu berwarna emas. Seru,” ceritanya diikuti tawa.
Ia menikmati kehidupan di Hong Kong dengan segala kepraktisan yang ditawarkan. Sang ibu dan dan para saudara kandung menetap di Jakarta. “Orang tua saya demokratis. Sangat jarang seorang ayah berdarah Tiongkok totok memberi kepercayaan dan kebebasan yang besar terhadap anak perempuan. Saya diperbolehkan mengikuti kegiatan seperti karate dan camping.
“Mereka membebaskan saya memilih bidang studi pendidikan, pekerjaan, teman maupun pacar. Saya didorong untuk berteman dengan siapa pun dan memperlakukan semua orang dengan hormat tanpa melihat latar belakang suku, agama, kepercayaan, atau status sosial dan ekonomi,” kisah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga ini.
Pembawaan Fhung ceria dan menyenangkan. Wajahnya rupawan dan penampilannya menarik. Dulu sempat menjadi model majalah ternama. Fhung terkesan mudah diajak berteman.
Meski demikian, kebutuhannya terhadap ruang privat lebih besar dari sebagian besar orang. Ia perlu banyak waktu untuk sendiri; di antaranya untuk memotivasi diri agar mulai berkarya.
“Karya saya berangkat dari hal yang sangat pribadi yang terkadang membuat ingin lari. Tetapi tetap harus dihadapi agar pulih dan bisa menjadi pribadi yang lebih lengkap dan kuat.”
Navigating the Landscape of Loss and Grief adalah salah satu karya yang dihasilkan dari pengalaman demikian.
“Karya ini berkutat dengan proses penjelajahan menghadapi medan kehilangan dan kedukaan yang mendalam. Proses yang sungguh tidak mudah, sebagaimana proses pembuatan karya ini yang sangat menguras tenaga baik fisik maupun psikis.
Namun di antara kesulitan dan duka yang mendalam, kita bisa menemui keindahan dan berkah tersembunyi yang tidak akan dirasakan tanpa menjalani perjuangan ini.
“Kadang perasaan kita membuat kita lebih merasakan derita. Melalui proses yang dirasakan sangat sulit, termasuk proses introspeksi diri yang mendalam, kita menempa dan mengasah diri untuk menjadi pribadi yang lebih peka, lebih bijaksana, lebih kuat dan lebih welas asih. Kita melampaui apa kita kira sebelumnya sebagai keterbatasan kita. Ternyata kita mampu.”
Karya tersebut terbuat dari pipa-pipa tembaga berdetail kuningan dengan ketinggian berbeda. Dijajarkan di atas meja besi dengan permukaan cermin yang diletakkan di tengah ruang berdinding hitam dan berlantai batu. Gelap, sulit dipijak, tetapi mengundang untuk didekati. Kokoh tapi mencerminkan kerapuhan.
Karya-karya Fhung menyampaikan memotivasi dan penguatan. Bagi tamu dan bagi dirinya, “Kalau tidak berkarya, saya tidak bisa survive.”
Foto: Jaka Santri
Pengarah gaya: Erin Metasari
Lokasi: Dia.Lo.Gue, Jakarta Selatan
Artikel ini dimuat di Majalah Dewi edisi Oktober 2017
Klik dewimagazine.com untuk artikel profil, gaya hidup, dan fashion lainnya