Jari telunjuk Lie Fhung membelai lembut kelopak putih yang ada di depan matanya. Ia berkata, “Tidak apa jika kita memegangnya pelan. Sedikit tekanan bisa membuatnya pecah.”
Perkataan Fhung tak lantas membuat saya punya nyali untuk menyentuh karya berjudul Life Force yang sangat cantik tetapi rapuh itu.
Karya itu berwujud jajaran kelopak bunga putih nan lentik yang tergantung di batang tembaga serupa ranting. Sepintas bunga-bunga tampak terbuat dari kertas lantaran begitu tipis. Kenyataannya, ia terbuat dari porselen.
Fhung mesti memutar otak dalam menciptakan material penyangga agar porselen tipis bisa tetap utuh saat dipanaskan, dan mampu mencapai bentuk yang diinginkan. Upaya tersebut tentu memakan waktu. Life Force tidak usai dalam hitungan bulan.
Sebagai wanita peraih predikat lulusan terbaik Jurusan Seni Keramik, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Lie Fhung tahu benar jenis keramik yang mudah dibentuk dan kuat.
Tapi hal itu kurang menantang. Rasanya bagi Fhung, berhasil melalui tantangan rumit ialah bentuk penghargaan sejati.
Karya-karya menjadi semacam dokumentasi. Penyadaran bahwa ia sanggup keluar dari berbagai pengalaman sulit yang pernah dialami.
“Karya saya ialah pengkristalan atau rekaman diri saya dalam berproses dengan pengalaman-pengalaman tak terduga yang pernah terjadi dalam hidup.
“Ketika bencana pribadi terjadi, muncul pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi. Saya mencoba melihat fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang seperti psikologi, sejarah, atau pengalaman orang lain. Semua itu menjadi pembelajaran,” kata Fhung.
Fhung bukan nama baru di dunia seni. Meski demikian, bisa jadi namanya terdengar baru bagi kaum milenial. Momen perkenalan mereka dengan karya Fhung terjadi saat pameran bertajuk Life Force yang diselenggarakan di Dia.Lo.Gue, Jakarta.
Malam pembukaan dipenuhi oleh kawan-kawan Fhung. Sebuah momen yang terasa sebagai ruang melepas rindu. Hari-hari berikutnya, Life Force kerap menjadi latar foto diri anak-anak muda yang datang ke galeri.
“Sayang. Padahal melihat karya adalah waktu untuk berdialog dengan karya tersebut. Mendekati benda mana yang rasanya nyetrum. Memperhatikan detail, mencari tahu lebih lanjut. Menyambungkan ke pengalaman hidup pribadi serta memberi interpretasi. Tidak harus mengerti filosofi di balik karya.
“Seniman pun biasanya tak 100 persen sadar tentang apa yang dibuatnya. Bisa saja penikmat karya yang justru mampu menganalisis lebih lengkap,” ujar Fhung.
Fenomena serupa terjadi pula di Hong Kong, kota tempat tinggalnya sejak awal tahun 2000-an. Pekerjaan terdahulu membuat Fhung bermigrasi ke sana. Kala itu ia bekerja sebagai desainer produk di sebuah perusahaan boneka. Pekerjaan yang ia jalani saat dirinya sempat meragukan jalan hidup sebagai seorang seniman.
Tugas Fhung menciptakan desain model boneka. Kecintaan pada desain membuat tugasnya meluas. Ia turut berperan sebagai desainer grafis yang mendesain kemasan serta perlengkapan branding lainnya.
Di satu sisi Fhung senang karena pekerjaan memungkinkan dirinya untuk traveling. Rasa gelisah datang ketika waktu kerja kian padat.
Fhung ialah satu-satunya desainer di perusahaan itu. “Saya makin merasa kalau harus kembali ke seni. Panggilan hidup saya,” katanya.
Ia berhenti jadi karyawan dan kembali membuat karya. Terciptalah Flight. Sebuah rangkaian karya berupa instalasi sayap-sayap kecil bernama Invisible Cages, Struggle, Self Exiled, Wandering Souls, dan Soaring.
Rupanya bermacam-macam. Ada yang tergantung dalam rangka kubus, ada yang terbang di dalam botol, ada pula yang terlihat seperti melayang di atas padang ilalang.
“Dalam lingkup yang paling kecil dan personal, dengan Flight ini saya lepas landas untuk menjadi diri sendiri seutuhnya. Dalam konteks yang lebih luas, bisa diartikan sebagai metafor pembebasan individu di tengah tuntutan konvensional masyarakatnya,” kata Fhung dalam wawancara yang pernah dimuat di Majalah Dewi tahun 2005.
Lie Fhung tentang seni yang selalu mengisi ruang jiwanya di halaman selanjutnya