![](https://www.pesona.co.id/img/images/cermin.jpg)
Wartawan senior dan penulis Leila S. Chudori, 54, bicara tentang menulis dan masa pensiun.
Dari usia 12 tahun, saya sudah terlibat dalam dunia kesenian, jauh sebelum saya menjadi wartawan. Sejak kecil saya sudah terlibat teater dan melahap semua buku, mulai dari sastra hingga komik. Selain karena pengaruh orang tua, ini karena kondisi. Hiburan di masa saya kecil itu minim sekali. Stasiun televisi hanya ada TVRI, dengan siaran hitam-putih. Film bioskop pun belum heboh seperti sekarang. Mau tidak mau saya harus kreatif.
Menjadi wartawan di Tempo membentuk saya sebagai seorang penulis yang lebih tertata. Saya terbiasa membuat timeline kerja, menentukan deadline, dan riset yang detail. Namun yang membentuk saya bukan hanya Tempo, ada nilai-nilai yang ditanamkan orang tua sejak saya kecil, antara lain menghormati perbedaan dan membela minoritas.
Ada tiga buku yang siap untuk saya baca di tiga tempat berbeda. Satu buku saya bawa di tas saya, satu buku di toilet, dan satu buku di mobil yang saya baca jika jalanan macet. Buku bacaan saya lebih klasik, seperti buku karya penulis nominasi atau pemenang Man Booker Prize dan Nobel.
Saya kembali menulis fiksi lagi karena anak saya, Rain Chudori, membaca Malam Terakhir (1989), kumpulan cerpen saya. Dia bertanya mengapa saya tidak menulis lagi dan kemudian menyemangati saya untuk kembali berkarya. Lahirlah 9 dari Nadira (2009). Rain dan saya bisa jadi teman diskusi. Dia bisa membaca sangat cepat dan untuk buku berbahasa Inggris, lebih mengerti dari saya.
Apa pun tulisannya, menulis untuk media atau fiksi, punya kenikmatan tersendiri. Di usia saya sekarang, saya sudah menyadari bahwa semua yang kita kerjakan dengan kenikmatan hasilnya akan lebih baik daripada jika kita ngedumel. Saya selalu mengatakan ke anak saya, bergembiralah orang-orang yang mengerjakan hal-hal yang mereka senangi karena itu tidak seperti bekerja.
Seperti pekerjaan saya sebagai wartawan di Tempo, ini adalah pilihan saya, bukan paksaan dari orang lain. Karena ini adalah pilhan saya, maka saya harus menikmati. Dalam hidup pasti ada saatnya ketika kita tidak puas akan sesuatu. Saya selalu kembali pada prinsip bahwa yang saya lakukan adalah pilihan saya. Dengan begitu, saya harus menerima risikonya dan hal-hal yang tidak saya sukai harus saya siasati agar tetap bisa saya nikmati.
Novel saya adalah milk saya, ini adalah sebuah kesaksian. Namun cita-cita nanti buku saya akan jadi bagaimana harus dilupakan sejenak ketika dalam proses menulis. Sebagai penulis, saya menikmati saja prosesnya.
I know it sounds cliché tapi penulis memang harus enjoy melakukannya. When you start having this grand idea, akan ada banyak tekanan dan cerita novel kita menjadi maksa. Buat saya, biarkan saja karakternya yang menentukan ceritanya. Seorangpenulis akan mengerti, sebuah karakter memang seolah-olah punya nyawa sendiri. Penulis tinggal mengikuti fitrahnya, maka dia akan menjadi logis.
Saya bukan orang yang anti teknologi. Novel saya, Pulang, ada versi e-book-nya. Dunia digital dan internet membuat semua jadi lebih mudah dan cepat. E-book lebih memudahkan untuk orang yang tinggal di luar negeri. Tapi saya pribadi tetap senang buku cetak.
Akhir tahun ini saya pensiun. Tapi saya akan tetap jadi wartawan karena profesi ini tidak pernah berhenti. Saya belum bisa membayangkan akan seperti apa kondisinya, karena all my life saya bekerja di Tempo. Namun ada rasa excited juga, karena pasti banyak hal-hal baru menanti. Mungkin saya tidak akan jauh-jauh banting setir seperti berbisnis membuka kafe. I know I want to write. Mungkin saya bergabung dengan writer-in-residence atau bisa juga yang berkaitan dengan dunia film, seperti menulis skrip.
Foto: Radhitya Wisnu Satriawan
Pengarah gaya: Nanda Djohan