“Hidup organik tidak mahal asalkan tahu tempat membelinya,” kata Emil. Kalau kita membeli di supermarket dan bersikukuh bahwa cap atau label organik itu sangat penting, sebenarnya kita ikut membayar harga label. Untuk memperoleh sertifikasi organik, itu tidak murah.
“Cara mensertifikasikan, misalnya saja seorang petani punya lahan, dia undang salah satu dari delapan perusahaan yang dipercaya pemerintah untuk memberikan sertifikasi. Setelah diaudit, ia bayar sekian puluh juta terus dapat sertifikasi. Artinya, apa pun yang ditanam di lahannya sudah dapat sertifikasi organik. Kalau sedang gagal panen, pelanggan tidak mau tahu. Kalau kebutuhannya tidak terpenuhi, si petani akan dapat rapor merah.
“Kalau dapat rapor merah terus, lama-lama sertifikasinya dicabut. Akhirnya sang petani mengambil dari lahan sebelahnya dan dijual dengan label organik yang dia punya. Ini yang sering terjadi,” Emil menjelaskan.
Di Indonesia, produsen pangan dan produk organik lumayan banyak. Yang bergabung dengan Komunitas Organik Indonesia kini jumlahnya mencapai 600-an di seluruh Indonesia, terdiri atas produsen/petani beras, sayur, buah, kedelai dan kacang-kacangan, daging ayam dan sapi, susu dan telur.
Selain bahan pangan, ada Batik Warna Alam, produk recycle, produk kayu, dan plastik singkong. Untuk produk kesehatan ada skin care, keripik, emping, granola, jus, dan kecap. Meski tidak memiliki sertifikat organik, mereka mempraktikkan metode pertanian dan produksi produk organik secara ketat.
“Kami punya tim kurator. Kalau tidak memenuhi standar, mereka tidak bisa bergabung dengan komunitas ini,” jelas Emil lagi.
Inilah alasan mengapa saya tidak cemburu pada negara lain. Di Indonesia salah satunya ada brand Javara yang dibangun oleh Helianti Hilman. Pemilik produk ini berjuang dengan mendidik banyak petani di Indonesia: Beras, gula aren, umbi-umbian, jagung, garam, kelapa, dan hampir semua yang bisa ditanam di bumi Indonesia. Bahkan Heli telah mengekspor produknya ke Eropa.
Harga mahal dari produk organik bisa disiasati. “Caranya, kenallah dengan petaninya. Kenalilah produsennya. Datangi lahan pertaniannya, lihat proses menanamnya. Dengan begitu kita tidak perlu terpaku pada label. Ini akan lebih murah,” saran Emil.
Arum menyiasati mahalnya harga produk pangan organik dengan membeli secukupnya, memasak secukupnya, dan habiskan. “Terapkan mindful eating. Makan dengan penuh kesadaran dan secukupnya. Jadi kita tidak perlu memasak berlebihan yang akhirnya dibuang karena tidak sanggup menghabiskan,” kata Arum.
Menanam sendiri beberapa jenis sayuran bisa jadi cara untuk menyiasati mahalnya harga sayuran organik. Helianti Hilman dan Sita Pujianto dari komunitas Jakarta Berkebun juga menyarankan kita untuk menanam sendiri sayuran di rumah.
Barangkali ini jawaban untuk tantangan Emil. Setelah mampu menghilangkan pengawet, penyedap, pemanis dan pewarna kimia dalam makanan kita, lalu apa? Menanam sendiri sebagian bahan pangan kita tanpa pupuk dan pestisida sintetis. Kalau tidak punya lahan, membeli pun tak masalah. Semakin banyak konsumen, produsen pun akan meningkat. Maka harga bisa jadi lebih murah.
Bahan: Tenni Purwanti
Foto: 123RF