Suatu hari saya bertamu ke rumah teman yang memiliki sisa lahan di samping rumahnya berupa sepetak tanah yang disekat-sekatnya menjadi empat bagian, masing-masing berukuran 1x2 meter.
Setiap petak berisi tanaman sayur: Kangkung, caisim, terong ungu, dan cabai. Kadang-kadang ia juga menanam bayam dan daun slada.
Noni, teman saya ini, sudah menjadi petani bagi dirinya sejak empat tahun lalu. Awalnya ia hanya iseng karena tidak tahan berdiam diri di saat tidak ada kesibukan. “Rasanya puas menyaksikan pertumbuhan sayur dari mulai menabur sampai terhidang di atas meja,” katanya. Ia hanya menggunakan pupuk kandang —kotoran ayam dan sekam.
Seorang teman lain berjuang untuk menyelamatkan hidup kita. Ia berusaha menolong seorang pengusaha tahu yang ditangkap polisi lantaran menggunakan formalin untuk mengawetkan tahunya. Bersama timnya, teman saya ini akhirnya menemukan bahan pengawet alami untuk tahu.
Di seluruh dunia banyak orang ingin hidup kembali kepada cara lama, yaitu ketika tanaman pangan dihasilkan dengan cara kembali kepada alam. Meninggalkan pupuk dan pestisida sintetis, herbisida, dan bahan kimia pengawet buah dan sayuran agar tidak cepat membusuk—lalu menggantinya dengan pupuk dan anti hama dari tanaman.
Denmark adalah negara pengonsumsi produk organik terbesar di seluruh dunia. Masyarakat Denmark sangat bangga akan gaya hidup organik. Para produsen produk organik berusaha meyakinkan konsumen bahwa produk organik itu untuk semua orang, dan mereka berani memberikan harga murah yang sama seperti produk non-organik.
Strategi ini merupakan kampanye marketing mereka tentang hidup sehat, bagian dari proses penyadaran pentingnya hidup bebas bahan kimia. Target
pemerintah Denmark adalah 60% makanan yang disediakan di tempat-temput umum seperti sekolah, kantin-kantin kantor, harus berbahan organik.
Konsekuensinya adalah semua lapisan masyarakat di semua tingkat ekonomi mencari bahan pangan organik, dan separuh dari populasi rakyat Denmark berbelanja produk organik setiap minggu. Pada tahun 2016, 10% dari seluruh produk organik berhasil dijual. Sementara di Inggris hanya 2%, dan di AS hanya 4% karena mereka menjual produk organik dengan harga mahal.
Pemerintah Denmark juga membuat kebijakan melarang produk impor non-organik. Alasannya, pemerintah memiliki iktikad baik untuk meningkatkan produk organik di dalam negeri.
Mari kita lihat di Negeri Sakura. Di Tokyo, ada bidang usaha dan layanan yang dapat membantu masyarakat untuk hidup secara organik. Shiga Kajiwara Farm adalah pertanian yang menerapkan metode pertanian organik secara ketat, dan menjaga kesehatan tanah pertanian dengan pembersih berbahan tanaman.
Shiga Kajiwara Farm menghasilkan berbagai jenis sayuran dengan memanfaatkan terbatasnya musim semi dan musim panas. Ada pula Daabon, perkebunan pisang terbesar di dunia yang ditanam secara organik.
Jangan pandang sebelah mata India. India juga punya beberapa produk pangan yang telah dibudidayakan secara organik, yaitu mangga Alphonso, pisang, temulawak, teh Pekoe, dan delima Bhagwa. Meski belum di seluruh daratan India, restoran yang menjual makanan berbahan organik menyebar dari Utara ke Selatan.
Bagaimana dengan Indonesia? Saya tidak cemburu pada negara lain. Meski pemerintah Indonesia belum ikut berjuang menghasilkan produk organik, produk organik mulai dari beras, sayuran, keju, nugget, ayam potong, tahu, hingga skin care mudah didapat. Menyebar di seluruh Indonesia, juga bisa dibeli lewat toko online.