Lisabona Rahman punya passion yang kuat untuk mengangkat film alternatif. Apa sesungguhnya yang penting dari keberadaan sebuah alternatif?
Saat membicarakan jagat film, topik yang banyak diperbincangkan umumnya tak jauh dari soal pemeran, sutradara, special effect, atau skenario. Tapi tidak demikian jika berbincang dengan Lisabona Rahman, mantan Manajer Program Kineforum (satu-satunya bioskop alternatif di Indonesia), yang kini bekerja di laboratorium restorasi film L’immagine Ritrovata di Bologna, Italia. Pada suatu siang di akhir September, kami berbincang soal layar alternatif, juga soal preservasi dan restorasi film di Indonesia.
Apa pentingnya keberadaan layar alternatif seperti Kineforum bagi publik?
Dulu belum ada layar untuk memutar karya-karya filmmaker baru Indonesia. Usul saya ketika itu, saya ingin Kineforum menjadi tempat orang-orang memperkenalkan karyanya. Salah satu misi Kineforum waktu itu juga memperkenalkan karyakarya itu.
Mengapa publik perlu menonton film alternatif?
Sama halnya dengan makanan—semakin terbuka dan tinggi pemahaman seseorang, ia semakin ingin mencoba yang lainlain. Begitu juga dengan film. Dengan menonton film alternatif, seseorang tak hanya akan memiliki apresiasi lebih dalam terhadap film-film mainstream, tetapi juga jadi ingin mengulik banyak hal lain. Misalnya, konteks sejarah dari film itu, bagaimana dan mengapa ia dibuat.
Apa tantangan terbesar dalam menjalankan bioskop alternatif?
Paling sulit adalah soal sustainability. Dari kacamata Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Kineforum adalah program, bukan pengelolaan ruang. Jadi aturan dan bujetnya berbeda. Kemudian, sejak 2008, bujet dari DKJ semakin berkurang. Kami pun menyiasatinya dengan mencari sumbangan, sponsor, menjual merchandise, membuat konser dan sebagainya. Jadi sampai saya keluar, belum ada formula yang ajeg dalam mempertahankannya. Padahal, pada Oktober ini, usianya menginjak 10 tahun.
Sponsor selalu punya kepentingan tersendiri. Bagaimana agar tidak bertabrakan?
Sejak awal kami sudah memilih. Kami tahu visi, misi dan pasar kami, dan karenanya tidak mengincar sponsor yang mainstream atau tidak sepaham. Gagasan kami, kan, antitesisnya mainstream Jadi, itu bunuh diri namanya. Profil kami pun jadi tidak solid nantinya. Makanya kami lebih banyak bekerja sama dengan LSM atau kedutaan-kedutaan besar.
Mengapa akhirnya pindah ke bidang preservasi dan restorasi film?
Ada beberapa hal. Pertama, waktu itu saya prihatin melihat kondisi koleksi fisik film-film lokal. Kemudian, Kineforum sudah bisalah regenerasi, dan saya sendiri sudah mulai bertanya, “What’s next?” Jadilah saya sekolah ke Belanda, mengambil Jurusan Preservation and Presentation of Moving Image. Saya belajar soal pengarsipan sampai kuratorial, untuk medium film, video sampai seni komputer atau software art.
Apa yang menarik dari dunia preservasi dan restorasi film?
Pertama, karena itu ilmu yang dinamis. Ilmu itu sangat dekat dengan teknologi dan perkembangannya. Dengan teknologi, saya bisa menjaga, memperbaiki, dan bahkan membawa
film-film masa lalu ke masa sekarang. Dan itu sesuai dengan minat saya, yaitu sejarah sinema.
Anda tak tertarik menjadi manajer program di bioskop mainstream?
Setahu saya, bioskop seperti itu programming-nya sangat bergantung pada industri internasional.
Menarik, sebetulnya, tapi bukan keahlian saya. Saya tidak menguasai tren Hollywood atau art-house (film alternatif ) yang komersial. Jadi kalaupun saya nekat, hasilnya tidak akan baik. Sebaliknya, dengan fokus di film yang alternatif, mudah-mudahan saya jadi malah bisa menyumbangkan sesuatu bagi dunia film.
Sisi positif bekerja di ranah alternatif?
Saya bisa terkoneksi dengan orang-orang industri melalui pintu yang berbeda. Saya berkawan dengan Riri Riza bukan karena pernah bekerja di film mereka, tetapi karena ketertarikan yang sama terhadap film Indonesia. Perkenalan dengan Joko Anwar dan Lala Timothy terjadi karena mereka passionate banget terhadap film-film klasik. Seseorang yang bekerja di ranah komersial pun, pada titik tertentu, jika memang serius, pasti melihat ke belakang. Dan di situlah kami bertemu.
Sisi negatifnya?
Ini profesi yang tidak populer, jadi saya mesti kreatif untuk sustain penghasilan. Mungkin memang berat, tapi bukan berarti mustahil.
Foto: Hermawan
Pengarah gaya: Erin Metasari