Dunia teknologi informasi lekat dengan kesan rumit dan sulit dipahami. Tak banyak perempuan yang berani terjun. Upaya Anantya Van Bronckhorst adalah salah satu bukti sukses.
Bisnis digital agency bukan bidang yang ia cita-citakan sejak dulu. Perkenalannya dengan bidang ini bisa dikatakan baru—ketika ia mulai bekerja pertama kali. Awalnya, Anan ‘hanya’ pegawai biasa di sebuah rumah produksi sebagai website content writer. “Dalam sehari saya harus upload sekitar 10-15 artikel. Kemudian saya diminta menangani satu divisi bersama Ramya, seorang desainer. Kami berdua running untuk divisi digital dalam rumah produksi itu,” kisah Anan, lulusan Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia. Bidang pekerjaannya kala itu adalah membuat website untuk sebuah perusahaan sekaligus mengelolanya.
Merasa sudah mengerjakan semua—dari proposal, deal dengan klien hingga maintainance—Anan merasa sudah saatnya mengembangkan divisi ini terpisah dari rumah produksi. Tahun 2005, berpartner dengan pemilik rumah produksi tempatnya bekerja, Anan bersama Ramya dan beberapa orang lainnya membangun Think.Web. Modalnya kerja keras, belajar tentang mendirikan perusahaan, berjibaku mencari modal, dan menjaring klien.
Keinginannya membangun digital agency bukan tanpa alasan kuat. “Saya melihat peluangnya sangat besar. Tahun 2007 saja pengguna internet baru 20 persen dari populasi. Perkembangan dari 20 persen ke seratus, kan, masih jauh. Jadi ke depannya, perkembangannya masih sangat signifikan.”
Pengamatan Anan pada akhirnya memang terbukti. Digital agency yang dibangunnya kini telah melayani banyak perusahaan dalam membangun website. Selain itu ia membangun jaringan perusahaan rekanan seperti Digify, Talklink, dan Inmotion.
Saat ini ia sedang mengembangkan tren biomatrix. Dari sebuah foto atau video, wajah bisa langsung ter-translate jenis kelamin dan usianya. Ia mengembangkan technology-senses based. “Kalau dengan Facebook, Instagram, dan Google, face recognition digunakan untuk mengenali foto siapa. Kalau ada orang men-tag foto kita tapi tidak tag ke kita, Instagram akan memberitahu kita bahwa kita di-tag. Saat ini kami sedang mengembangkan technology-senses based,” jelas Anan dengan mata berbinar.
Bekerja sama dengan Ollie dari Zetta Media, Anan membangun Girls in Tech. Ketika media sosial mulai naik dan aplikasi mulai banyak, banyak perempuan yang mulai masuk dunia digital. Girls in Tech dibangun agar makin banyak perempuan yang masuk ke dunia teknologi. Tahun 2011 ia mulai dengan aktivitas yang menargetkan mahasiswi tingkat akhir hingga first jobber. Tapi semakin hari peminatnya tidak hanya perempuan muda, tetapi juga ibu-ibu.
Dengan ‘payung’ #WhyNot pada tahun ini, ia membuat rangkaian workshop untuk mendorong para perempuan bahwa teknologi dapat membantu kita di seluruh aspek kehidupan. “Misalnya saja saat saya mau nyetir, saya akan gunakan Google Map,” ujar pemilik rambut ikal ini. Peminat workshop-nya berkisar antara 40 hingga 80 orang perempuan, tak pernah sepi.
Diawali dengan enam karyawan pada 2008, tahun ini Think.Web telah memiliki 80 karyawan, dan 40 tenaga freelance yang bekerja di rumah. Sebagai enterpreneur, ia memberikan cukup banyak lapangan pekerjaan lewat agensi ini. Lima sampai 10 tahun ke depan, lulusan S-2 Magister Komunikasi Universitas Indonesia yang hobi membuat crochet (merajut dengan satu jarum) ini masih akan tetap menekuni bisnis ini. Ia juga akan melanjutkan studinya ke jenjang S-3. Tapi jangan tanya soal omzet—jawabannya hanya seulas senyum.
Foto: Denny Herliyanso
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah
Rias wajah: Inez Febiola