Sesuai judul buku dan ilustrasi sampulnya, Anda tak akan menemukan keindahan bunga padma, tetapi darah yang mengalir dari kelopaknya.
"Kamu harus tahu Harumi sayang, pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas." Kalimat itu tertulis di belakang buku kumpulan cerita berjudul Metafora Padma karya Bernard Batubara. Kalimat itu juga kalimat pertama yang menyapa pembaca saat membuka cerita pertama berjudul Perkenalan. Seolah memberi tahu pembaca, buku ini adalah tentang kekerasan.
Membaca cerita-cerita dalam Metafora Padma, saya teringat kumpulan cerita berjudul Saksi Mata yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma. Jika Seno mengangkat konflik Timor Timur, Bernard berusaha mengangkat konflik dari kota kelahirannya, Pontianak, Kalimantan Barat. Bahkan, Bernard secara gamblang menyatakan bahwa buku ini dipersembahkan untuk masa kecilnya.
"Kejadian itu sudah hampir 15 tahun yang lalu. Sudah terlalu lama sampai saya tidak pernah mendengar orang-orang membicarakannya lagi. Tapi isunya masih relevan. Yang saya ingin sampaikan adalah konflik horizontal antara satu suku dengan suku yang lain. Betapa saya ingin berkata, saya sangat heran kenapa bisa terjadi konflik seperti itu. Saya masih berteman dekat dengan teman-teman yang berbeda suku.
"Sebagai orang Dayak, saya tidak pernah berniat memenggal kepala teman saya, Joko, yang orang Madura. Jiwa anak kecil saya bertanya-tanya kenapa bisa terjadi. Buku ini adalah bentuk usaha saya menjawab itu," ungkap Bernard dalam peluncuran buku ini, akhir Juli lalu.
Dari 14 cerpen, sebanyak delapan cerpen mengisahkan secara langsung tentang kekerasan, yakni cerpen Perkenalan, Demarkasi, Rumah, Obat Generik, Alasan, Metafora Padma, Sepenggal Dongeng Bulan Merah, dan Solilokui Natalia. Selebihnya, Bernard masih menulis cerita tentang cinta sepasang kekasih seperti dalam cerpen Hanya Pantai yang Mengerti, Percakapan Kala Hujan, dan Es Krim.
Meski ada empat kisah tentang cinta sepasang kekasih, tema kekerasan tetap membayangi kisah-kisah itu. Misalnya, cerpen Hanya Pantai yang Mengerti berkisah tentang pembunuhan seorang lelaki bernama Gru. Gru dibunuh oleh suami dari Rui, yang selingkuh dengan Gru.
Di cerpen Percakapan Kala Hujan, buat saya pribadi, sudah sering membaca cerpen dengan plot yang seperti ini. Sepasang kekasih duduk di cafe membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesuai dengan judulnya, percakapan mereka terjadi kala hujan. Tidak ada yang spesial dari cerita ini. Dewi Lestari dalam cerpen Peluk masih lebih lihai menuliskan konflik sepasang kekasih di ujung tanduk hubungan mereka. Konflik sepasang kekasih justru unggul dalam cerpen Es Krim. Sesuai judulnya, cerpen ini dingin namun manis, seperti es krim.
Sedangkan tiga cerpen lainnya berkisah tentang penulis yang memakan dirinya sendiri, seorang penyembah ulat bulu, dan seseorang yang menemukan dirinya diselimuti gelembung. Tiga cerita ini justru yang jarang dieksplorasi oleh penulis cerpen lainnya. Hanya sayang, di cerpen Kanibal yang bercerita tentang penulis, Bernard sepertinya salah memberi judul. Tidak ada kalimat dalam cerpen ini yang menunjukkan bahwa tokoh utama memakan diri sendiri atau memakan manusia lain. Ia hanya menggigiti anggota tubuhnya dan potongan tubuh itu akan berubah menjadi cerita ketika ditaruh di atas sehelai kertas kosong. Jika buku ini kelak cetak ulang, saya berharap Bernard akan mengganti judul cerpennya.
Buku kesembilan dari Bernard Batubara ini memiliki ilustrasi yang berbeda untuk tiap cerpennya. Ilustrasi ini dibuat khusus oleh Egha Latoya, perempuan yang juga menyanyi untuk duo The Fatima (Republik Cinta Management). Sedangkan cover didesain oleh penulis Eka Kurniawan, yang selama ini juga mendesain sendiri cover-cover bukunya.
"Buat saya, elemen terpenting dari cover buku adalah judul buku dan nama penulisnya. Kalau bisa dua itu saja. Tetapi sampul buku seperti pintu depan sebuah toko atau riasan seseorang. Itu kesan pertama yang akan kita lihat. Saat menerima naskahnya saya tidak punya bayangan. Saya membaca cerpen Metafora Padma dan cerpennya sangat metaforis. Maka saya memilih bunga padma atau bunga lotus sebagai gambar sampul.
"Tadinya saya mau bunga itu putih bersih seperti yang biasa digambarkan saat seseorang meditasi dengan bunga lotus di sampingnya. Tetapi saat membaca cerpen-cerpen yang lain, saya ingin memasukkan unsur horor di sampul. Meskipun pada akhirnya saya juga mempertimbangkan sampul-sampul buku Bernard yang lain agar sampul ini tidak beda sendiri. Akhirnya saya memilih warna bunga yang elemen horornya sedikit tetapi pembaca mengerti
maksudnya," jelas Eka.