Ada pengalaman menarik yang membuat Maggie belajar dari kompetisi-kompetisi yang telah diselenggarakan. Ia bertemu seorang seniman muda dari Kalimantan yang karyanya menarik hati Maggie. “Caranya men-doodling bagus, tapi objek yang ia buat masih kurang modern. Kurang 2Madison.” Meski demikian, yang seperti itu diakuinya hanya soal waktu dan keinginan belajar.
Hal serupa juga ditemuinya ketika berdiskusi dengan artisan interior di Tanah Jawa. Katanya, mereka sempat menolak desain kursi berlengan klasik rancangan Maggie karena diminta mengecat merah kayu berukirnya. “Padahal, maksudnya supaya ada sentuhan kontemporer. Kalau kayu berukir biasa tentu jadi seperti kursi biasa di Jepara,” Maggie berargumen. Setelah berbincang dan mengenal mereka, Maggie menemukan bahwa seniman muda dan artisan tradisional itu sekadar kurang referensi. Maka yang ia lakukan adalah mengenalkan pada mereka sumber-sumber referensi baru lewat karya-karya seniman lain, tren warna, dan referensi yang lebih luas lagi di internet.
Media internet memang memegang peranan penting bagi 2Madison. Publikasi karya terpotret apik dalam bingkai kotak akun instagram @hello2madison. Pengumuman kompetisi atau harapanharapan komunitas pun ia bagi lewat gambar dan caption akun ini. Berkat desain-desain dan tampilan yang ceria, tak heran kalau banyak anak muda yang terpikat pesona 2Madison. Salah satu seniman yang berkolaborasi dengan 2Madison adalah Muchlis Fachry.
Muchlis adalah mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, yang terkenal dengan street art-nya. Ia juga terlibat dalam Jakarta Biennale 2015. Meski dulu lebih akrab dengan medium seni di jalan, Muchlis tak menampik perlunya galeri semacam 2Madison untuk eksistensi karya. “Orang bisa berlama-lama melihat dan menikmati karya, sedangkan kalau di jalanan mereka melihat sambil lalu,” jelasnya. Ia juga senang dengan cara Maggie memperlakukan orang-orang yang bekerja sama dengannya. “Ada galeri yang, selain kuratornya, nggak kenal dengan seniman yang pameran di tempat mereka. Di sini rasanya homey dan orang-orangnya familiar,” komentar Muchlis.
Di sisi lain, Maggie rasanya berusaha untuk membangun suasana kerja atas dasar kesetaraan. “Kebanyakan orang masih menganggap artisan itu tukang, dan seniman itu orang yang dibayar untuk mengerjakan pesanan kita. Yang seperti itu tidak sehat,” kata Maggie, serius.
Menemukan rekan kerja untuk bisa mewujudkan visi ini memang tak mudah. Ada penolakan, ada juga orang-orang berbakat yang idealismenya tak sejalan. “Realitasnya memang tak semua orang menyukai Anda, dan begitulah hidup. Tapi, jangan putus asa, dong. Anda nggak harus berusaha disukai orang juga. Janganlah menyerah,” ia menegaskan. Pada 2 Desember 2015, 2Madison membawa tiga senimannya berkolaborasi dengan Mel Ahyar. Niat awalnya, Maggie membuat kontes kreatif yang melibatkan seniman dalam bidang fashion.
Waktu itu Maggie mangajak Mel Ahyar sebagai salah satu juri. Setelah proses seleksi dilakukan, sang desainer malah tertarik untuk mengajak tiga pemenangnya bekerja sama. Dari kolaborasi itu, lahirlah Verse, koleksi Mel Ahyar Couture untuk Spring/ Summer 2016.
Ibarat memahat, satu per satu tantangan yang menghadang Maggie telah membantunya menemukan jati diri 2Madison. Dan proses itu masih berlangsung hingga saat ini. “Saya masih belajar. Kami semua belajar di sini. Nggak boleh ada yang malas belajar, deh, di sini,” katanya sembari tertawa. “Eh, tapi ini serius. Kalau nggak begitu, Indonesia nggak maju-maju.” Di lantai dua, saya memandang sekeliling, menikmati penataan ruang yang telah ia lakukan—modern, minimalis, namun juga menyisakan sentuhan sederhana yang membumi. “Eklektik dan kontemporer,” kata Maggie. Bicara masa depan, Maggie juga punya mimpi yang belum tercapai. Ia ingin membawa nama 2Madison ke luar negeri. Untuk mewujudkannya, ia rajin ikut pameran furnitur dan interior internasional, seraya memamerkan potensi-potensi kebanggaan Indonesia.
Sebelum pulang, saya mengatakan kepadanya, betapa menarik karya-karya yang ada di sini, juga soal penataan ruang yang ia lakukan. Kesan saya, apa yang ia lakukan sudah cukup untuk membawa 2Madison ke dunia internasional. “Belum, sih,” balasnya cepat. Dari caranya bicara, saya tahu ia tak berbohong. Masih ada rentetan misi di kepala Maggie, demi mewujudkan visi yang lebih besar. “Apresiasi dan acknowledgement itu penting, tapi kita tak boleh cepat berpuas diri.” Betul juga....
Foto: Previan F. Pangalila, 2Madison
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah