Tulola lahir pada 2007 silam. Nama itu diambil dari nama anak Sri, Putu Lola, yang lahir di tahun yang sama. Gerai Tulola terletak di Jalan Peti Tenget, Kerobokan, Bali, satu kawasan bisnis padat turis yang dipenuhi gerai-gerai pakaian, restoran, dan vila-vila.
Fokus bisnis Tulola adalah produksi perhiasan berbahan emas dan perak. "It's the purest metal and the kind of metal that you can wear everyday," jelas Sri, mengenai pilihan bahan. Alasan lain adalah karena mereka ingin menghargai pekerjanya. "Menggunakan bahan murah, seperti kuningan, sama saja dengan tidak menghargai craftmantship-nya."
Berdirinya Tulola bisa saja sebuah kebetulan. Sebelum Tulola, Happy sibuk menggeluti dunia seni peran dan penulisan. Saat itu ia terlibat proyek penulisan biografi Desak Nyiman Suarti, seorang maestro perhiasan asal Bali. Sebagai desainer perhiasan, nama Suarti bergaung hingga ke Amerika Serikat.
Pada suatu hari, dalam rangka penulisan, Happy berkunjung ke rumah Suarti dan mendapati ia sedang tidak di rumah. Happy justru bertemu anaknya yang sedang berkutat dengan perhiasan di garasi. Anak itu adalah Sri. Keduanya menjalin pertemanan lewat perbincangan yang panjang. Saat pertemuan itu terjadi, Sri telah banyak bereksperimen dengan perhiasan. Meski begitu, karya-karyanya hanya dipasarkan ke teman-teman dekat. Ia sedang berpikir untuk membuat sesuatu yang lebih modern dengan mengeksplorasi bahan emas dan perak. Kemudian Happy datang.
Bertemunya Happy dan Sri bisa saja sebuah kebetulan. Sebagai anak seorang maestro perhiasan, kedekatan Sri dengan perhiasan telah dimulai sejak dalam kandungan. Bagaimanapun, ada satu momen yang membuat Sri betul-betul terpukau: Pertemuan dengan naga.
Naga adalah makhluk mitologi yang punya tempat terhormat dalam budaya Timur. Ia hidup di tiga alam -dengan para dewa. Sri melihat naga melingkari pergelangan tangan ibunya. "Saya ingat ibu memakai gelang naga yang sangat besar," kenang Sri. "Seorang maestro perajin emas membuatnya, mungkin pada 1970-an." Naga emas itu begitu memukau. Untuk pertama kalinya, Sri merasakan betapa perhiasan bisa bernyawa. "I saw it. It's different. It's ... alive."
Sebelumnya, Sri tak pernah melihat perhiasan dengan begitu banyak cerita, konsep, dan nilai-nilai yang membuatnya hidup. Ia baru melihatnya di Indonesia. Hal itu mendorongnya untuk lebih menggali kekayaan leluhur ketika berkarya.
Happy, di sisi lain, punya cerita berbeda. Sejak lama ia mengagumi segala sesuatu yang berkaitan dengan keterampilan tangan. Tetapi ia bukan tipe perajin. "Saya pembuat yang buruk sekali. Bentuknya pun selalu kacau," jelasnya. Di waktu bersamaan, kekurangan dan kesukaan itu membuat Happy mengambil peran sebagai penikmat dan pengumpul perhiasan.
Penyelaman lebih jauh terhadap dunia perhiasan baru terjadi ketika Happy menulis biografi Suarti. "Saya belajar banyak sekali, terutama soal motif. Ketika menyusun buku, bahan ada setumpuk. Ia berupa ratusan, bahkan ribuan foto dengan beragam motif dan cerita," kenang Happy. "Itu seperti skripsi saya."
Perhiasan telah menjadi bagian hidup Happy dan Sri sejak lama. Tak heran jika perhiasan mempertemukan keduanya, dan kini, menjadi inti bisnis mereka. Delapan tahun lebih Tulola berjalan. Gerai yang dulu sempit, kini cukup luas untuk menampung lebih banyak perhiasan. Dari yang berjualan secara konvensional, kini mereka melayani pembelian online.
Fokus bisnis Tulola adalah produksi perhiasan berbahan emas dan perak. "It's the purest metal and the kind of metal that you can wear everyday," jelas Sri, mengenai pilihan bahan. Alasan lain adalah karena mereka ingin menghargai pekerjanya. "Menggunakan bahan murah, seperti kuningan, sama saja dengan tidak menghargai craftmantship-nya."
Berdirinya Tulola bisa saja sebuah kebetulan. Sebelum Tulola, Happy sibuk menggeluti dunia seni peran dan penulisan. Saat itu ia terlibat proyek penulisan biografi Desak Nyiman Suarti, seorang maestro perhiasan asal Bali. Sebagai desainer perhiasan, nama Suarti bergaung hingga ke Amerika Serikat.
Pada suatu hari, dalam rangka penulisan, Happy berkunjung ke rumah Suarti dan mendapati ia sedang tidak di rumah. Happy justru bertemu anaknya yang sedang berkutat dengan perhiasan di garasi. Anak itu adalah Sri. Keduanya menjalin pertemanan lewat perbincangan yang panjang. Saat pertemuan itu terjadi, Sri telah banyak bereksperimen dengan perhiasan. Meski begitu, karya-karyanya hanya dipasarkan ke teman-teman dekat. Ia sedang berpikir untuk membuat sesuatu yang lebih modern dengan mengeksplorasi bahan emas dan perak. Kemudian Happy datang.
Bertemunya Happy dan Sri bisa saja sebuah kebetulan. Sebagai anak seorang maestro perhiasan, kedekatan Sri dengan perhiasan telah dimulai sejak dalam kandungan. Bagaimanapun, ada satu momen yang membuat Sri betul-betul terpukau: Pertemuan dengan naga.
Naga adalah makhluk mitologi yang punya tempat terhormat dalam budaya Timur. Ia hidup di tiga alam -dengan para dewa. Sri melihat naga melingkari pergelangan tangan ibunya. "Saya ingat ibu memakai gelang naga yang sangat besar," kenang Sri. "Seorang maestro perajin emas membuatnya, mungkin pada 1970-an." Naga emas itu begitu memukau. Untuk pertama kalinya, Sri merasakan betapa perhiasan bisa bernyawa. "I saw it. It's different. It's ... alive."
Sebelumnya, Sri tak pernah melihat perhiasan dengan begitu banyak cerita, konsep, dan nilai-nilai yang membuatnya hidup. Ia baru melihatnya di Indonesia. Hal itu mendorongnya untuk lebih menggali kekayaan leluhur ketika berkarya.
Happy, di sisi lain, punya cerita berbeda. Sejak lama ia mengagumi segala sesuatu yang berkaitan dengan keterampilan tangan. Tetapi ia bukan tipe perajin. "Saya pembuat yang buruk sekali. Bentuknya pun selalu kacau," jelasnya. Di waktu bersamaan, kekurangan dan kesukaan itu membuat Happy mengambil peran sebagai penikmat dan pengumpul perhiasan.
Penyelaman lebih jauh terhadap dunia perhiasan baru terjadi ketika Happy menulis biografi Suarti. "Saya belajar banyak sekali, terutama soal motif. Ketika menyusun buku, bahan ada setumpuk. Ia berupa ratusan, bahkan ribuan foto dengan beragam motif dan cerita," kenang Happy. "Itu seperti skripsi saya."
Perhiasan telah menjadi bagian hidup Happy dan Sri sejak lama. Tak heran jika perhiasan mempertemukan keduanya, dan kini, menjadi inti bisnis mereka. Delapan tahun lebih Tulola berjalan. Gerai yang dulu sempit, kini cukup luas untuk menampung lebih banyak perhiasan. Dari yang berjualan secara konvensional, kini mereka melayani pembelian online.
Secara umum, tema-tema Tulola tak jauh dari ketiga hal yang menarik perhatian Happy dan Sri: Perempuan, Sastra, dan Tanah Air. "Awalnya kami berusaha menemukan jati diri sebagai sebuah brand. Tetapi, step by step, kini kami tahu pasti apa yang kita kerjakan, baik konsep, motif, hingga karakter," kata Sri.
Seiring waktu, karakter Tulola kian matang terbentuk. Seiring waktu pula, ia menjadi magnet bagi tantangan yang lebih besar. Bagi Happy, tantangan terberat selama membangun Tulola adalah bagaimana agar tidak kehilangan karakter. Pelanggan Tulola kian bertebaran, dari anak muda hingga selebritas ibu kota, dari Jakarta hingga kota-kota besar di Amerika Serikat. Peluang memperluas pasar terasa menggiurkan, terlebih ketika tubuh dilanda stres dan tekanan lain. Naiknya harga emas dan rupiah yang melemah, misalnya. Happy dan Sri menyadari bahwa keduanya bisa berimbas pada bisnis, meski hingga kini penjualan masih normal. "Kami belum berpikir untuk mengubah harga. Tetapi mungkin saja," jelas Sri.
Situasi seperti itu hanyalah satu dari banyak faktor yang bisa membuat sebuah bisnis kehilangan karakternya. Dan itu yang coba dihindari Tulola. "Market memang penting. Tetapi ketika kita menjadi budak pasar, itu akan membuat kita lupa diri. Kita mesti sadar bahwa kita bukan budak satu sama lain, dan itu tantangan yang sulit sekali," kata Happy. Baginya, satu-satunya jalan untuk bisa melakukan hal itu adalah dengan berpegang pada tigal hal. "Dedikasi, loyalitas, dan bahagia ketika mengerjakan," ujar Happy. "Kalau tidak bahagia, tidak mungkin kami bisa bertahan."
Seiring waktu, karakter Tulola kian matang terbentuk. Seiring waktu pula, ia menjadi magnet bagi tantangan yang lebih besar. Bagi Happy, tantangan terberat selama membangun Tulola adalah bagaimana agar tidak kehilangan karakter. Pelanggan Tulola kian bertebaran, dari anak muda hingga selebritas ibu kota, dari Jakarta hingga kota-kota besar di Amerika Serikat. Peluang memperluas pasar terasa menggiurkan, terlebih ketika tubuh dilanda stres dan tekanan lain. Naiknya harga emas dan rupiah yang melemah, misalnya. Happy dan Sri menyadari bahwa keduanya bisa berimbas pada bisnis, meski hingga kini penjualan masih normal. "Kami belum berpikir untuk mengubah harga. Tetapi mungkin saja," jelas Sri.
Situasi seperti itu hanyalah satu dari banyak faktor yang bisa membuat sebuah bisnis kehilangan karakternya. Dan itu yang coba dihindari Tulola. "Market memang penting. Tetapi ketika kita menjadi budak pasar, itu akan membuat kita lupa diri. Kita mesti sadar bahwa kita bukan budak satu sama lain, dan itu tantangan yang sulit sekali," kata Happy. Baginya, satu-satunya jalan untuk bisa melakukan hal itu adalah dengan berpegang pada tigal hal. "Dedikasi, loyalitas, dan bahagia ketika mengerjakan," ujar Happy. "Kalau tidak bahagia, tidak mungkin kami bisa bertahan."